April-August 2020

HOPE IN THE TIME OF PANDEMIC

(IND) (ENG below)

Kepada kawan-kawan InterSastra,

Tanpa terasa telah lima bulan kita semua menjalani pembatasan sosial berskala besar di Indonesia, sebagai upaya untuk memutus rantai penularan Covid-19. Kelumpuhan kegiatan ekonomi berskala besar ini telah memukul banyak sekali pekerja, terutama dari sektor usaha kecil dan menengah serta kreatif, tapi sejatinya tidak ada pekerja dari sektor manapun yang kebal dari dampak ini.

Menurut perkiraan dari ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Aviliani, apabila kelumpuhan ini berlanjut hingga Juli 2020, sekitar 3 hingga 5 juta pekerja Indonesia terancam kehilangan sumber mata pencahariannya: 100 juta orang Indonesia yang kini berstatus kelas menengah dapat jatuh ke garis kemiskinan sementara 70 juta yang sudah miskin bisa jatuh ke taraf kemiskinan ekstrem.

Belum lagi kalau kita memikirkan betapa banyaknya orang yang sedang berkabung di saat ini karena ditinggal oleh anggota keluarga atau sahabat tercinta sebagai akibat dari penyakit Covid-19 ini, saat pemberlakuan pembatasan fisik menghalangi mereka untuk mendapatkan dukungan sosial yang sangat mereka butuhkan di saat-saat berduka. Belum lagi para perempuan dan anak-anak yang terpapar kerentanan lebih tinggi untuk mengalami kekerasan–risiko terjadinya kekerasan diperparah oleh keadaan ekonomi dan sosial yang semakin menekan–di saat mereka semua tidak punya pilihan lain selain terkurung di rumah untuk waktu berkepanjangan dengan pelaku kekerasan.

Dalam keadaan seperti ini, sangat mudah bagi semua orang untuk tenggelam dalam rasa sedih atau putus asa. Namun, kami di InterSastra percaya bahwa dalam keadaan paling menekan sekalipun, seni dan sastra bisa memberikan obat penawar, cukup untuk menyalakan semangat hidup bahkan bila hanya sesaat saja.

Karena itulah kami senantiasa bekerja tidak hanya untuk menghadirkan karya baru untuk kita nikmati dan resapi, tapi juga memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang seringkali tidak diberi kesempatan untuk berkesenian, menikmati seni, dan menceritakan kisahnya dan sudut pandangnya sendiri.

Sementara itu, kami di InterSastra juga memiliki cara kami masing-masing untuk tetap bertahan hidup pada saat-saat sulit ini. Demikian cerita yang ingin dibagikan oleh sebagian dari kami, semoga bisa membantu:

F.S. Putri Cantika (aktor, peneliti, desainer, seniman, pengelola Kopi Kebun)

Secara pribadi, aku mengalami kecemasan tiada henti. Meskipun sudah terbiasa kerja dari rumah, kondisi baru ini punya efek lain untuk kesehatan mental, ya. Sempat insomnia tak berkesudahan. Banyak acara dan pendampingan riset di lapangan pun dibatalkan sehingga harus mencari sumber pendapatan lain.

Sebagai pedagang aku harus bikin banyak inovasi barang dan jasa berbasis layanan pesan antar untuk usaha kopiku @kopikebun. Mau tidak mau, harus penyesuaian jam operasional dan insentif karyawan karena pendapatan merosot tajam. Tapi aku tetap mencoba membuat kerajinan tangan, menonton film, membaca buku, menggambar, memasak, berkebun dan mampir ke rumah ibu serta berenang di sana karena rumahnya dekat. Aku suka menonton kembali film-film yang sudah pernah kutonton, seperti Call Me By Your Name (2018).

Gaia Khairina (peneliti lingkungan)

Sangat sulit mempertahankan tingkat produktivitas seperti semula di tengah kemurungan karena pandemi ini. Tiba-tiba, saya sering berkontak secara berkala dengan teman-teman yang sudah bertahun-tahun tak pernah saya kirimi pesan atau telepon. Saya pikir semua orang saat ini sangat merindukan keterhubungan dengan sesamanya dan untungnya pada saat ini kita punya banyak wadah untuk berkomunikasi melalui internet.

Untuk menghabiskan waktu saya melakukan yoga, jalan pendek, menggambar, mendengarkan musik dan menonton film, terutama yang mengangkat masalah olahraga dan tarian. Sambil kita semua terjebak di rumah dan lebih jarang berolahraga daripada biasanya, melihat tubuh-tubuh bergerak dan berinteraksi dengan bebas dalam ruang memberikan efek katarsis.

Belakangan saya juga menikmati karya-karya puisi lewat Twitter – Ilya Kaminsky, Eavan Boland, Scheherazade Siobhan, Fatimah Asghar, Safia Elhillo, Warsan Shire dan Ocean Voung – yang terkadang muram, penuh kesendirian atau penuh harapan. Mereka mengingatkan saya kembali bahwa masa-masa krisis adalah suatu hal yang tak jarang kita alami dan bahwa kita semua memiliki kemampuan setara untuk merasakan keputusasaan, kemarahan dan harapan. Saya menonton film dokumenter Pina (2011; mengenai Pina Bausch, penari dan koreografer Jerman) serta Run With the Wind (1966).

The Atlantic menyediakan laporan ilmiah yang sangat baik mengenai COVID-19 dan saya mengikuti berita-berita ini karena menaruh minat pada kesehatan masyarakat.

Julia Winterflood (konsultan kehumasan dan komunikasi)

Baru-baru ini, saya kehilangan beberapa klien terbesar dari sektor pariwisata sebagai seorang konsultan hubungan masyarakat dan komunikasi. Akhirnya, saya bisa mengerjakan sesuatu yang telah lama ingin saya lakukan dalam empat hingga lima tahun terakhir, yaitu berkecimpung dalam jurnalisme. Belakangan ini saya banyak menulis dan melaporkan soal bagaimana pandemi ini memengaruhi Bali sejauh ini. Saya juga banyak berinteraksi dengan suami saya dan orang-orang yang dulunya pernah bekerja dengan saya di Ubud Writers and Readers Festival. Memperkuat dan memperdalam hubungan sosial tampak menjadi fokus penting bagi banyak orang saat ini. 

Saya membaca banyak buku-buku yang cukup menantang, termasuk karya Hanya Yanagihara A Little Work, yang saya anggap sebagai mahakarya setebal 600 halaman lebih. Lalu saya menemukan sebuah hobi baru, yaitu memelihara tanaman rumah; ternyata saya dan suami saya sangat menyukainya. Kembali ke alam, tak hanya karena saat ini alam sedang menjalani masa istirahat, rehat dan berkabung yang luar biasa, juga karena kegiatan tersebut memberikan ketenangan bagi sebagian orang. Untuk pertama kalinya, saya mempraktekkan yoga. Saya juga sangat menyukai serial Netflix Never Have I Ever, yang ditulis oleh Mindy Kaling, seorang penulis komedi Amerika. Itu adalah serial yang paling beragam secara ras dan budaya yang pernah saya saksikan di layar.

Sebastian Partogi (wartawan, copywriter, penerjemah sastra)

Dalam bulan-bulan terakhir, sungguh sebuah kehormatan dapat bergelut dengan kisah-kisah soal penderitaan, namun juga daya tahan dan semangat juang yang luar biasa dari para sumber saya, lalu menuliskannya dalam bentuk laporan jurnalistik atau advertorial untuk koran tempat saya bekerja. Saya merasa menemukan kembali makna terdalam dari pekerjaan saya sebagai wartawan, yaitu untuk merekam zaman, menangkap dan mengabadikan penderitaan sesama di tengah pandemi ini, juga belas kasih yang muncul sebagai tanggapan atas penderitaan tersebut.

Saya juga gembira bisa menjadi penutur versi bahasa Inggris cerpen Feby Indirani berjudul “Laut, Ayah, dan Putri” serta Triskaidekaman berjudul “Homoctopus”untuk disiarkan di kanal Difalitera, bentuk kerjasama dengan Intersastra.

Saya makin banyak membaca buku belakangan ini, tiga buku dalam sepekan, karena sesungguhnya tak ada lagi hal lain yang bisa saya lakukan untuk menghabiskan waktu apabila telah tuntas menunaikan tugas-tugas jurnalistik saya, selain tidur, makan, mencuci piring dan mencuci baju tentunya, hahaha… Dari semua yang saya baca, saya sungguh menyukai The Road karya Cormac McCarthy, Oryx and Crake karya Margaret Atwood, Bumi Yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells, serta Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan karya Siddharta Mukherjee–untuk kedua judul yang belakangan disebut, saya beli terjemahannya agar bisa berhemat dan terjemahan bahasa Indonesianya sangat keren!

Saya juga melanjutkan kegiatan dengan klub buku saya Baca Rasa Dengar dan sejak masa pandemi ini, kami berkomitmen mengadakan pertemuan di ruang maya tiap pekannya untuk menjaga kesehatan mental masing-masing dan kami bahkan telah diliput oleh South China Morning Post dan iNews TV! Arisan buku mingguan ini membantu saya tetap waras dan pikiran saya tetap tajam.

INTERSASTRA UNTUK DIFABEL NETRA

Teman-teman difabel netra dan penikmat sastra suara juga dapat menikmati versi audio dari serial tersebut di laman website Difalitera atau kanal Difalitera di Spotify, melanjutkan kerjasama organisasi yang bergerak di bidang penyediaan sastra suara tersebut dengan InterSastra.

Bulan April-Juni ini, Difalitera telah meluncurkan rekaman sastra suara dari cerpen “Munada”karya Mardian Sagian (diterjemahkan oleh Liswindio Apendicaesar), cerpen “Rika” karya Eve Shi, cerpen “Homoctopus” karya Triskaidekaman (diterjemahkan olehAyunda Nurvitasari), cerpen “Ketika Ibu Pulang” karya Dwi Ratih Ramadhany (diterjemahkan oleh Clarissa Goenawan), cerpen “Laut, Ayah dan Sang Putri karya Feby Indirani (diterjemahkan oleh Sebastian Partogi), cerpen “Darah” karya Utami (diterjemahkan oleh Zoë McLaughlin), cerpen "Dalam Tubuhku" oleh Indah Darmastuti (diterjemahkan oleh Zoë McLaughlin), serta kumpulan puisi CynthaHariadi (diterjemahkan oleh Dhania Sarahtika).

INTERSASTRA UNTUK KOMUNITAS PENGUNGSI

20.png

Sejak 2018 kami bekerja sama dengan komunitas pengungsi internasional di Jakarta untuk membantu mereka menyampaikan kisah mereka melalui seni. Pada 2018 empat orang pengungsi berkolaborasi denganseniman Molly Crabapple sebagai bagian kegiatan House of the Unsilenced danmenyuarakan tentang diskriminasi berbasis gender dan seksualitas yang merekaalami di negeri asal dan Indonesia. Pada 2019 komunitas pengungsi perempuan mendirikan Sisterhood Women Empowerment Centre di Jakarta. Salah satu pendirinya, Warsan, turut berpartisipasi pada House of the Unsilenced dan angkat bicara soal kemampuan perempuan untuk mengubah dunia. Kami bekerja sama dengan Sisterhood dan Jesuit Refugee Services untuk mengadakan kelas-kelas tari berjudul Love Your Body, Love Yourself yang difasilitasi oleh penari dan koreografer Ningrum Syaukat. Merespons kebutuhan para perempuan pengungsi, kelas-kelas ini bertujuan mengembangkan suara, ketentraman batin, dan kepercayaan diri mereka untuk berani mengekspresikan diri serta membangun jaringan pendukung di Indonesia. Mereka memberi kami feedback yang sangat positif dan menyentuh, dan kami sangat bersyukur karenanya.

Mulai Juli ini House of the Unsilenced bekerja keras mengembangkan kelas-kelas seni lainnya untuk komunitas perempuan pengungsi dan para penyintas kekerasan berbasis gender. Apabila teman-teman mampu, bantulah upaya kami dengan memesan suvenir dan hasil karya para penyintas, berupa CD, zine, pin, scarf, dan masih banyak pilihan lainnya.

INTERSASTRA MENDUKUNG #BLACKLIVESMATTER DAN #PAPUANLIVESMATTER

Kami berdiri bersama saudara-saudari berkulit hitam di Amerika Serikat dan saudara-saudari Papua di Indonesia. Kami menyadari bahwa mereka ditindas secara sistematis dalam negara mereka masing-masing, dan kita punya kewajiban untuk bersuara atas ketidakadilan tersebut.

Misi InterSastra adalah merebut ruang kreatif dan kesempatan berkesenian terutama bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan jarang terwakilkan. Kami bekerja membangun kapasitas kreatif dan pertukaran seni-sastra, yang pada dasarnya merupakan upaya meredistribusikan kekuasaan atas siapa yang didengar, menyamaratakan akses untuk belajar dan berkarya, dan mempertanyakan sudut pandang siapa yang dilazimkan.

 Kami tidak memiliki kemampuan untuk mendukung gerakan politik baik secara legal maupun pendanaan. Akan tetapi, sebagai inisiatif seni dan sastra, InterSastra akan terus menyediakan kesempatan untuk pelatihan seni dan menampilkan karya oleh penulis dan seniman Papua, masyarakat adat, Indonesia Timur, perempuan dan minoritas gender dan seksual, dan suara-suara yang terpinggirkan dari seluruh dunia. Kami telah mengumpulkan daftar sejumlah inisiatif seni-sastra dari Papua dan masyarakat berkulit hitam di Indonesia, Amerika, dan Australia—menyumbanglah jika mampu. Kami pun menyalurkan dukungan berupa buku dan dana untuk inisiatif-inisiatif dari Papua; untuk menyumbang hubungilah intersastra2@gmail.com.

 Kami mendukung kebebasan berekspresi dan kebebasan dari penganiayaan. Kami menuntut kebijakan inklusifitas, anti-rasisme, dan anti-diskriminasi juga mesti menjadi bagian dari #NewNormal. Kami berdiri bersama mereka yang terus melawan agar nyawa dan suara mereka dihargai dalam masyarakat.

“PRIDE LIT PARADE” DI INTERSASTRA

Di beberapa negara, bulan Juni dirayakan sebagai Pride Month, yaitu bulan yang merayakan kehidupan dan gerakan komunitas LGBTQIA+. Meskipun belum ada perayaan atau parade serupa di Indonesia, kami merayakannya dengan mengumpulkan sejumlah tulisan yang mendobrak pakem kaku gender dan seksualitas. Kami menyebutkan Pride Lit Parade: “Salat di Penghujung Malam” karya Shofwan (terjemahan Sarita Supratman), “Stephen dan Angela” karya Radclyffe Hall (terjemahan Eliza Vitri Handayani), “Ad Maoirem Dei Gloriam” karya Norman Erikson Pasaribu (terjemahan Shaffira Gayatri), “Mercusuar” karya Bramantio (terjemahan Shaffira Gayatri), “Hari Terakhir Ah Xiang” karya Leopold Adi Surya Indrawan (terjemahan Indah Lestari), puisi-puisi karya Budi Winawan (terjemahan Dhania Sarahtika), dan “Citarasa Air” karya Nhã Thuyên (terjemahan Eliza Vitri Handayani).

BACAAN IDUL ADHA DARI PARA PENULIS MUSLIM

Akhirnya, untuk turut meramaikan Idul Adha, pada bulan Juli ini kami mengetengahkan karya-karya penulis Muslim yang merenungkan dan memberi makna baru bagi iman dan kehidupan beragama: “Untitled Selves” karya Eliza Vitri Handayani tentang perempuan yang merenungkan Tuhan dan angkat suara, tapi bagaimana keluarganya memandangnya?; puisi-puisi Ebi Langkung yang sensual dan spiritual (terjemahan Madina Malahayati Chumaera); puisi-puisi Budi Winawan yang lucu dan menampar tentang gender, seksualitas, surga, dan neraka (terjemahan Dhania Sarahtika); cerpen “Munada” karya Mardian Sagian tentang sebuah sekte ekstremis yang membunuh bayi-bayi perempuan (terjemahan Liswindio Apendicaesar); “Laut, Ayah, dan Putri” karya Feby Indirani yang mempertanyakan arti cinta ayah dan anaknya (terjemahan Sebastian Partogi); “Salat di Penghujung Malam” karya Shofwan (terjemahan Sarita Supratman); dan “Darah” karya Utami (terjemahan Zoe McLaughlin) tentang seorang perempuan pengantin baru yang menyadari bagaimana suami dan keluarganya memandangnya.

SAMPAI JUMPA LAGI

Bagaimana teman-teman mengisi waktu selama karantina ini? Berbagilah cerita dengan kami melalui akun Instagram kami @intersastra__. Teman-teman tidak sendirian. Tetaplah jaga kesehatan, tetaplah pelihara semangat dan ketentraman batin melalui seni dan sastra. Bulan Agustus mendatang kita akan merayakan karya-karya penulis perempuan dalam terjemahan. Ikuti media sosial InterSastra untuk membaca karya-karya perempuan penulis yang kami terbitkan dan terjemahkan. Sampai jumpa lagi!


HOPE IN THE TIME OF PANDEMIC

(ENG)

Dear friends of InterSastra,

Five months have passed by since we first went on a large-scale social restriction in Indonesia to curb the spread of Covid-19. A large scale economic activity paralysis has hit so many workers hard, especially informal workers in the small and medium enterprises as well as the creative industry, and yet nobody’s immune from the economic impact of the crisis.

According to predictions from Institute for Development of Economics and Finance Aviliani, if the paralysis continues until July 2020, about three to five million Indonesian workers might lose their jobs: 100 million middle-class Indonesians could fall into the threshold of poverty while the 70 million who are already poor might fall into extreme poverty.

Not to mention the number of people grieving at this time as their beloved family members and friends passed away due to Covid-19, at a time when physical distancing prevents them from getting the social support they need in times of bereavement. Not to mention the countless women and children under heightened threat of facing domestic violence – a risk often exacerbated amid economic and social frustrations – when all of them have no choice but being trapped in a house for a prolonged period with the perpetrators.

In times like these, it is easy to give in to despair and sorrow. Yet we at InterSastra believe that even amid the most pressing times, the arts can offer some solace, enough to ignite that spirit to be alive again even just for a moment.

That’s why we work not only to present new pieces for our audience to enjoy, but also provide opportunities for those who are often not given the access to make and enjoy art, and to tell their own stories and perspectives.

We at InterSastra would also like to share our respective methods to survive these difficult times. These are some of our stories, which we hope they can help:

F.S. Putri Cantika (actor, researcher, designer, artist, manager of Kopi Kebun)

Personally, I’ve gone through endless anxiety, although I’ve been used to working from home. This tough condition has impacted our mental health in a way we’ve never seen before. Once I went through prolonged insomnia. Many research events and supervision

As a trader I have to come up with various products and delivery services innovations for my coffee business @kopikebun. I can’t help but adjust operational hours and employee incentives due to a steep decline in income. jobs in the field have been cancelled so I need to find different sources of income. Yet I continue crafting, watching films, reading books, drawing, cooking, gardening and visiting my mom’s house nearby and swimming there. I like revisiting some films again, like Call Me by Your Name (2018).

Gaia Khairina (environmental scientist)

It is hard to maintain the same level of productivity amid the pandemic blues. Friends I have not messaged or called in years, I am now in somewhat regular contact with. I think everybody is starved for connection and fortunately we have many ways of connecting through the internet now, as imperfect as it may be. I practice daily yoga. Short walks. Drawing. Listening to music.

I've been watching films about sports and dancing lately. While we're all stuck at home and exercising less than usual, there's something cathartic about seeing bodies interacting and moving freely through space.

I really enjoy following poets on Twitter – like Ilya Kaminsky, Eavan Boland, Scheherazade Siobhan, Fatimah Asghar, Safia Elhillo, Warsan Shire and Ocean Vuong – and reading the poems they share. Many of the poems feel very attuned to current moods – they can be bleak, full of solitude, or full of hope. They remind me that times of crises are not that rare, and our capacity for feeling despair, anger, hope etc. are really similar.

I follow COVID news because I'm interested in public health. The Atlantic has really great scientific coverage on it.

Julia Winterflood (public relations, communications consultant)

Recently I’ve faced the loss of some of my biggest client in the hospitality and tourism industry, as a public relations and communications consultant. Instead I am doing what I always wanted to do: journalism. I’ve been writing and reporting about how the pandemic has affected Bali so far. I’m interacting with my husband and people I used to work with at the Ubud Writers and Readers Festival. Bolstering and deepening relationships seems to be an important focus for so many people right now.

I’ve been reading a lot: enormous books, including Hanya Yanahigara A Little Life, it’s quite a masterwork. I’ve got a new hobby: keeping house plants, my husband and I have discovered we like so much. We’ve been going to various toko tanaman in Bali. A return to nature, not only because nature is going through an incredible rest and break. For the first time, I’m doing yoga. I’m also enjoying Never Have I Ever, a Netflix series, written by Mindy Kelling, an American comedy writer. It’s the most racially, culturally diverse I’ve ever seen on screen.

Sebastian Partogi (journalist, copywriter, literary translator)

It’s been an honor within the months to delve deeper into stories of suffering but also resilience and persistence amid the COVID-19 pandemic from my sources, before putting them down in newspaper reports or advertorials. I feel I’ve rediscovered the true purpose of my work as a journalist: to chronicle time, capture and preserve stories of suffering but also compassion which has arisen in response to that suffering amid this crisis.

I’m also happy to narrate the audio version of InterSastra’s short stories: “The Ocean, the Father and the Daughter” by Feby Indirani and “Homoctopus” by Triskaidekaman – to be uploaded on the Difalitera channel, part of its collaboration with InterSastra.

I read books more voraciously as of late, three books a week since I have plenty of time when I’m not working, eating, sleeping, washing dishes and clothes, hahaha. I especially like The Road by Cormac McCarthy, Oryx and Crake by Margaret Atwood, An Inhabitable Earth by David Wallace-Wells and Gene by Siddharta Mukherjee – I read the excellent Indonesian translations for the last two titles mentioned to save money.

I continue my activities with my book club Baca Rasa Dengar (Read Sense and Listen) which has shifted to online meetings during the pandemic; we commit to conduct weekly meetings to bolster each other’s mental health and we have been covered by the South China Morning Post and local iNews TV channel. The weekly meeting helps me stay sane and sharp.

INTERSASTRA FOR THE BLIND AND VISUALLY IMPAIRED

Friends with visual impairments and those who enjoy audiobooks can listen to short stories and poems that we’ve published on the Difalitera website or Spotify channel. As part of our collaboration with the Difalitera initiative that provides audiobooks for the blind and visually impaired, this April-June, Difalitera has released recordings from the short story "Munada" by Mardian Sagian (translated by Liswindio Apendicaesar), "Rika" by Eve Shi, "Homoctopus" by Triskaidekaman (translated by Ayunda Nurvitasari), "When Mother Came" by Dwi Ratih Ramadhany (translated by Clarissa Goenawan), “The Ocean, the Father, and the Daughter” (translated by Sebastian Partogi), "Blood" by Utami (translated by Zoë McLaughlin), and a collection of poems by Cyntha Hariadi (translated by Dhania Sarahtika).

 INTERSASTRA FOR REFUGEE COMMUNITIES

20.png

Since 2018 we have been working with the international refugee community in Jakarta to help them tell their stories through art. In 2018 four refugees collaboratedwith artist Molly Crabapple as part of House of the Unsilenced and raised awareness about gender-based discrimination they experienced in their homecountries and Indonesia. In 2019 the women's refugee community established the Sisterhood Women Empowerment Center in Jakarta. One of its founders, Warsan, participated in House of the Unsilenced 2019 and spoke about the power of women to change the world. Also in 2019 we worked with Sisterhood and Jesuit RefugeeServices to hold dance classes called LoveYour Body, Love Yourself, facilitated by dancer and choreographer NingrumSyaukat. Responding to the needs of refugee women, these classes aim to increase their well being, develop their voice and confidence to express themselves, and build support networks in Indonesia. They gave us very positive and touchingfeedback, and we are very grateful for it.

Starting this July House of the Unsilenced is working hard to develop other arts classes for the refugee women community and survivors of gender-based violence. If you're able, please help our efforts by ordering souvenirs and the survivors’works, in the form of CDs, zines, pins, scarves, and many others.

INTERSASTRA SUPPORTS #BLACKLIVESMATTER AND #PAPUANLIVESMATTER

We stand with Black people in the US and Papuan people in Indonesia. We recognize that they have been systematically oppressed and considered less valuable within their respective countries, and that we have a responsibility to speak up.

Through InterSastra’s mission to claim artistic means and space especially for underrepresented and marginalized groups, we understand the power of refusing to be silent and speaking out the truth. At InterSastra we are building artistic capacity and exchanges, which are about redistributing the power to be heard, equalizing access to learning and creating, and questioning which worldviews are normalized.

InterSastra has limited capacity to legally and financially support movements. However, as an arts and literary initiative, we will continue to provide artistic training opportunities and promote works from oppressed and underrepresented groups, including artists and writers from Papua, Indigenous communities, and Eastern Indonesia, women, sexual and gender minorities, and other marginalized voices across the globe. We have gathered a list of arts and literary initiatives byBlack and Papuan people in Indonesia, the US, and Australia—please donate tothem if you can. You may also contact us at intersastra2@gmail.com to donate books and funds to the Papuan initiatives.

We stand with freedom of expression and freedom from oppression. We demand that inclusivity, anti-racism and anti-discrimination measures also become part of the #NewNormal. We stand with those who are fighting so their lives and their voices will be valued.

PRIDE LIT PARADE AT INTERSASTRA

In some countries, June is Pride Month, a month that celebrates the LGBTQIA+ communities and movements. Although we don’t have parades yet in Indonesia, we at InterSastra celebrated by presenting a list of literary works that make us rethink the constructs of gender and sexuality. We call it Pride Lit Parade. Please read and enjoy: "Night Prayer" by Shofwan (Sarita Supratman's translation), "Stephen and Angela" by Radclyffe Hall (Eliza Vitri Handayani's translation), "Ad Maoirem Dei Gloriam" by Norman Erikson Pasaribu (Shaffira Gayatri's translation) , "The Lighthouse" by Bramantio (Shaffira Gayatri’s translation), "Ah Xiang’s Last Day" by Leopold Adi Surya Indrawan (Indah Lestari’s translation), poems by Budi Winawan (Dhania Sarahtika’s translation), and "Tastes of Water" by Nhã Thuyên (Eliza Vitri Handayani’s translation).

CELEBRATE EID AL-ADHA BY READING THESE MUSLIM AUTHORS

Finally, to help enliven Eid al-Adha, we present the works of Muslim writers who contemplate and give new meaning to faith and religious life: "Untitled Selves" by Eliza Vitri Handayani (about a woman’s different selves and their relationships with God, family, and nation); poems by Ebi Langkung (translated by Madina Malahayati Chumaera); funny and sharp poems by Budi Winawan about gender, sexuality, heaven and hell (translated by Dhania Sarahtika); "Munada" by Mardian Sagian about an extremist sect that kills female babies (translated by Liswindio Apendicaesar); "The Sea, the Father and the Daughter" by Feby Indirani who examines unthinking faith and love between father and daughter (translated by Sebastian Partogi); "Night Prayer" by Shofwan (translated by Sarita Supratman); and "Blood" by Utami (translated by Zoe McLaughlin) about a newlywed woman who realized how her husband and family valued her.

SEE YOU AGAIN

How are you spending your time in quarantine? Share your stories with us through our Instagram account @intersastra__. You are not alone. Stay healthy and keep your spirit up with art and literature. In August we will celebrate the works of women writers in translation. Follow our social media accounts to read the works of women writers that we’re publishing and translating. See you again soon!

Eliza HandayaniComment