September 2020

Cindy Saja scarf for InterSastra.jpeg

(IND) (ENG below)

TANGAN-TANGAN KECIL

Terinspirasi oleh kerja kami, desainer Cindy Saja menciptakan syal cantik bertajuk “Tangan-tangan Kecil” untuk mendukung aktivitas kami. Kami sangat terharu dengan dukungan Cindy yang tidak kami duga, hal itu membuat kami merasa bahwa kerja keras kami dihargai oleh orang lain.

Desainnya pun sungguh mencerminkan semangat InterSastra: mulai dari mawar (kuat, ulet, lembut) sebagai sumber ciptaan, muncul tangan-tangan kecil yang menumbuhkan karya-karya baru, yang terus menginspirasi tangan-tangan kecil lain untuk berkarya dan menguatkan satu sama lain. Bersama-sama mereka membentuk semesta yang terus berkembang, semangat mereka menyebar jauh dan luas.

Harga: Rp 180.000 plus ongkos kirim. Bisa dikirim secara internasional. Untuk memesan, langsung saja kirim email ke cindysaja@ymail.com atau DM IG @cindysaja.

Terima kasih telah membantu kami untuk terus membuka kesempatan berkarya bagi penulis dan seniman dari latar belakang yang beragam dan terpinggirkan!


PEREMPUAN PENULIS INDONESIA DALAM TERJEMAHAN

Ilustrasi oleh Sukutangan untuk cerpen karya Nurillah Achmad.

Ilustrasi oleh Sukutangan untuk cerpen karya Nurillah Achmad.

Karena kita baru saja melewati bulan Agustus 2020, yang sejak 2014 yang lalu digagas oleh penerjemah sastra dan narablog buku berkebangsaan Amerika Serikat Meytal Radzinski sebagai bulan perempuan penulis dalam penerjemahan (Women in Translation Month, #WITmonth), marilah kita membaca beberapa karya perempuan penulis Indonesia.

Radzinski, yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen biokimia, berupaya untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang betapa sedikitnya penulis perempuan yang karyanya diterjemahkan ketimbang laki-laki.

Klik di sini untuk melihat daftar perempuan penulis Indonesia yang telah diterjemahkan oleh InterSastra.


PEREMPUAN PENULIS YANG SEDANG KAMI BACA

Memasuki bulan keenam mewabahnya penyakit COVID-19 di Indonesia, setelah beberapa bulan media massa tampaknya hanya menyuguhkan berita-berita terkait pandemi ini dan percakapan yang sama terus-menerus mendominasi berbagai wadah media sosial, tampaknya banyak orang mulai rindu untuk mengisi percakapan dengan topik yang berbeda.

Saat kegiatan kita menjadi semakin sedikit dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, membaca bisa menjadi salah satu pilihan mengisi waktu luang yang semakin sering kita lakukan. Berikut ini, beberapa anggota InterSastra membahas karya penulis perempuan yang paling mereka sukai, siapa tahu teman-teman yang mulai kehabisan bahan bacaan di tengah karantina mandiri di rumah bisa memasukkannya ke dalam daftar belanja buku yang akan datang:

Aria Danaparamita (praktisi humas)

Akhir-akhir ini saya merasa tergerak untuk membaca (atau membaca ulang) karya-karya perempuan atau queer yang menelusuri titik-titik temu antara feminisme, ras, kelas, dan keadilan sosial secara keseluruhan.

Saat ini ada non-fiksi seperti Angela Davis (Freedom Is a Constant StruggleAre Prisons Obsolete?), Silvia Federici (Caliban and the Witch), dan Shoshana Zuboff (The Age of Surveillance Capitalism) maupun puisi Claudia Rankine (Citizen).

Artikulasi pemikiran Angela Davis terutama sangat tajam dan, lebih pentingnya, berlandaskan kasih sayang yang radikal. Are Prisons Obsolete?, misalnya, membantu saya mendalami kaitan antara keadilan sosial dan kekerasan struktural, mengubah pikiran-pikiran saya sebelumnya, dan mendatangkan harapan-harapan baru menuju masyarakat tanpa kekerasan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Angela Davis mungkin sosok yang paling mendorong saya dalam pemikiran saya, dan menantang saya untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang ada, baik dalam diri sendiri maupun dalam masyarakat. Menjadi seorang aktivis-akademisi tidak mudah, dan banyak yang rentan mereduksi pemikiran mereka demi dapat lebih "diterima" masyarakat. Ketegasan akal, nurani, dan spiritualitas Angela Davis saya rasa sangat langka dan menjadi inspirasi saya sebagai pelajar, pemikir, dan penulis.

F.S. Putri Cantika (aktor, desainer, peneliti, seniman)

Saat ini penulis perempuan yang sangat kusuka karyanya adalah Lesley Hazelton. Saya pertama kali menemukan bukunya tahun 2016, yakni The First Muslim, biografi tentang Muhammad.

Saat ini saya sedang membaca After the Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split . Buku yang sudah terbit sejak 2009 namun aku baru menemukan bukunya beberapa bulan lalu. 

Hazelton memiliki perspektif yang menarik terhadap islam dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya. Membaca karya nonfiksi Hazelton seperti membaca fiksi. Gaya tulisannya membuat kita hanyut masuk ke dalam cerita. Karya Hazelton memperkaya pemahamanku tentang Islam dan banyak peristiwa yang menjadi latar perkembangannya. Menariknya, Hazelton banyak mengungkap fakta dan kejadian yang jarang sekali didedah oleh literatur Islam yang sebelumnya kutemui. Di tengah terjangan arus ekstremisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam, tulisan-tulisan Hazelton menjadi penengah untuk melihat Islam dari sudut pandang berbeda, membuat kita tetap logis dan kritis terhadap narasi-narasi yang hadir. Hazelton mengubah banyak hal dalam diriku melalui tulisan-tulisannya yang memukau dan berani. 

Chandra Bientang (penulis buku dan konten)

Saya sungguh menyukai karya Jesmyn Ward Sing, Unburied, Sing yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Nadya Andwiani dengan editor Dyah Agustine dan proofreader Ine Ufiyatiputri, diterbitkan oleh Qanita.

Hal pertama yang aku sukai adalah temanya kental dengan situasi di Amerika Serikat, tapi entah mengapa dapat diselami sama aku yang darah, daging, tulang, sampai lidahnya Indonesia. Ini cerita tentang keluarga multiras: seorang ibu kulit hitam dan ayah kulit putih. Hal kedua yang aku suka adalah cerita dibagi menjadi bab-bab yang mengisahkan sudut pandang masing-masing tokoh. Itu kesukaanku, karena aku jadi tahu bahwa tokoh-tokoh itu punya alasan atas tindakan mereka, walaupun dari luar terlihat buruk. Sang ibu, misalnya, terlihat seperti ibu yang buruk, tetapi ketika aku membaca bab dari sudut pandangnya, aku dapat memahami beban dan kebimbangan yang dia rasakan. Cerita ini adalah tentang suara-suara yang ingin didengar dan dimengerti, bukan untuk menunjukkan siapa jahat siapa baik, itu yang aku suka. Hal ketiga yang aku suka adalah unsur realisme-magis yang ternyata diselipkan dalam cerita. Hal keempat yang aku suka adalah gaya penerjemahannya. Nadya Andwiani menurutku piawai sekali mencari diksi yang tepat untuk menggambarkan suasana cerita. Biasanya buku-buku terjemahan itu kaku dan baku sekali bahasa Indonesianya, tapi buku ini sangatlah mengalir, seolah tokoh-tokohnya memang bercerita dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan Jojo, tokoh kanak-kanak dalam buku itu, betul-betul khas anak kecil.

Buku ini membuat aku makin melek bahwa setiap orang punya lapisan, dan bahwa relasi antar-manusia memanglah rumit, tidak bisa dinilai hanya dari apa yang tampak. Buku ini membuatku tersadar juga bahwa dunia adalah tempat kita terluka dan melukai, aku dan semua orang lain adalah bagian dari dunia yang berluka-luka. Aku jadi paham, karena itulah perbuatan baik itu perlu, bukan untuk mendapat pujian, demi menjalankan perintah agama, atau menjadi munafik, melainkan untuk meringankan luka-luka itu.

Tiffany Tsao (penulis, penerjemah sastra)

Penulis perempuan yang paling mempengaruhi pemikiran saya, pada saat ini, adalah Charlotte Brontë. Waktu kecil, saya diberikan novel Jane Eyre sebagai kado ulang tahun. Dibaca berulang-ulang, sebelum tidur, di bak mandi, di bis sekolah, di mobil. Setelah itu, waktu kuliah, saya membaca Villette.

Yang paling menonjol, tokoh-tokoh utamanya yang cerdas, keras kepala, dan berambisi, tapi dilatih untuk menahan diri, untuk mempercayai dirinya sendiri puas meski sangat lapar. Sampai sekarang saya terpesona oleh femonena “tipu diri". Mungkin karena itu ada unsur self-deception di seluruh karya saya. 

Soal karya yang membuat saya memikirkan ulang soal ke-Indonesiaan: saya sedang menerjemahkan kumcer Budi Darma, Orang-Orang Bloomington, dan mungkin karena itu, saya jawab OOB. Latarnya AS, tokohnya AS, tapi bukan sama sekali tidak “pandering to the West”. Justru, kumcer ini, menurut saya, menunjukkan bahwa keIndonesiaan sastra bukan tergantung pada isi atau pesan. 

Sebastian Partogi (wartawan, copywriter, penerjemah sastra)

Saat ini saya sedang gandrung dengan karya-karya wartawan Belarusia, Svetlana Alexievich, terutama Chernobyl Prayer (diterjemahkan oleh Anna Gunin dan Arch Tait). Sebuah karya nonfiksi yang mengupas kehidupan para penyintas kebocoran pembangkit daya listrik nuklir Chernobyl di Ukraina (saat itu masih bagian Uni Soviet yang sekarang telah bubar) pada tahun 1986, Alexievich berhasil mengungkap kisah “warga biasa” serta penderitaan hidup yang harus mereka telan usai tragedi luar biasa tersebut.

Saya menyukai bagaimana Alexievich memilih untuk mengangkat “narasi-narasi kecil” yang lantas mengabadikan suara rakyat-rakyat kecil yang sesungguhnya terkena imbas paling besar dari tragedi Chernobyl itu sendiri. Saya juga suka bagaimana Alexievich menyandingkan (membenturkan) kepahitan hidup para penyintas ini dengan retorika politik para penguasa Uni Soviet yang berusaha mengecilkan signifikansi insiden ini dengan narasi soal nasionalisme dan keagungan dengan teknik menulis showing dan bukan telling. Sebuah teknik penulisan yang masih dengan tekun saya pelajari sebagai seorang wartawan.

Sampai jumpa di kabar InterSastra bulan depan!


Cindy Saja scarf for InterSastra.jpeg

(ENG)

LITTLE HANDS

Inspired by our work, designer Cindy Saja created this gorgeous scarf titled “Little Hands” to support our activities. We are deeply moved by Cindy's support, which we didn't expect, it really makes us feel that our hard work is valued by others.

The design truly reflects InterSastra’s spirit: starting from the rose (strong, resilient, gentle) as the source of creation, small hands emerge and grow new works that are alive, joy-giving, and inspiring more and more little hands to create and strengthen each other—together they form a universe that continues to expand, their spirit spreading far and wide.

Price: IDR 180,000 plus shipping. International shipping is available. To order, please email cindysaja@ymail.com atau send DM to Instragram @cindysaja.

Thank you for helping us to continue providing opportunities for writers and artists from diverse and disadvantaged backgrounds!

Illustration by Sukutangan for a short story by Nurillah Achmad.

Illustration by Sukutangan for a short story by Nurillah Achmad.

INDONESIAN WOMEN IN TRANSLATION

Considering we’ve just passed August 2020, which since 2014 has been designated by American literary translator and book blogger Meytal Radzinski as Women in Translation month (#WITmonth), we've compiled a selection of amazing women writers from Indonesia, or with Indonesian heritage, that we have translated and published in our Unrepressed and Diverse Indonesia: Next Generation series.

Radzinski, who works as a biochemistry lecturer, tries to boost people’s awareness on just how few women writers have their works translated into foreign languages compared to men.

Click here to read Indonesian women writers in translation.

WOMEN WRITERS WE’RE CURRENTLY READING

Entering the sixth month of the COVID-19 pandemic in Indonesia, news in the mass media seems to have been dominated by stories about the pandemic, while the same conversation about the coronavirus seems to also have dominated various social media platforms.

While a lot of people have their daily activities significantly reduced and spend more time than ever at home, reading can be a leisure activity option which we can do more often. Here, several InterSastra team members discuss their favorite works penned by women authors. Who knows, maybe those of you who start to run out of reading materials can add these titles to your book shopping wishlist:

Aria Danaparamita (public relations practitioner)

Recently, I feel the drive to read (or re-read) the works of women or queer authors who explore intersections between feminism, class and social justice in a holistic manner.

Currently, I read non-fiction works penned by Angela Davis (Freedom Is a Constant Struggle, Are Prisons Obsolete?), Silvia Federici (Caliban and the Witch) and Shoshana Zuboff (The Age of Surveillance Capitalism or Claudine Rankine’s poem Citizen.

Angela Davis, in particular, articulates her ideas very sharply and, more importantly, based her ideas on radical compassion. Are Prisons Obsolete?, for example, helps me deepen my knowledge about the correlation between social justice and structural violence. It has shifted my old ideas and brought me new hope toward societies without violence, something which we dared not imagine before. Perhaps Angela Davis is the strongest driving force of my ideas, who challenges me to once again question existing assumptions, in my own being or in society. Being an activist-cum-scholar is no easy feat and a lot of these people are prone to reduce their ideas in order to be more “acceptable” by the society. I find Angela Davis’ firm mind, conscience and spirituality quite rare and has inspired me as a student, thinker and writer.

F.S. Putri Cantika (actor, designer, researcher and artist)

Currently, I really like Lesley Hazelton’s work. I first discovered her work in 2016: The First Muslim, the biography of Prophet Muhammad. Currently, I’m reading After the Prophet: the Epic Story of the Shia-Sunni Split.

Hazelton has an interesting perspective on Islam and the events which follows it. Hazelton’s writing style, which borrows from fiction, helps us lose ourselves into the story. Hazelton’s works have enriched my understanding of Islam as well as many events serving as the context of the religion’s development. Interestingly, Hazelton reveals a lot of facts and events rarely revealed by Islamic literature which I’ve discovered.

Amid the onslaught of extremism and radicalism in the name of Islam, Hazelton’s writings have become a mediator for us to see Islam from a different point of view: helping us retain our logical and critical thinking in grasping existing narratives about the religion. Through her astonishing and daring writings, Hazelton has changed a lot of things inside myself.

Chandra Bientang (literary and content writer)

I really like Jesmyn Ward’s Sing, Unburied, Sing, translated into Indonesian by Nadya Andwiani with editor Dyah Agustine and proofreader Ine Ulfiyatiputri, published by Qanita.

The first thing which I like is although its theme is very contextual to what’s going on in the United States, yet I’m not quite sure how, I can still grasp it very well as a reader whose blood, flesh, bone and also tongue are purely Indonesian. This is a story of a multiracial family, with a black mother and a white mother.

The second thing I like: the book divides its story into chapters presenting each character’s point of view. That’s what I love the most, because it lets me know that each character has a reason behind their actions, although their actions are deemed terrible by outsiders. The mother, for instance, appears to be a very bad mother, but when I’m reading the chapter told from her point of view, I can understand the burden and doubt that she’s experiencing. This story is about voices who want to be heard and understood, instead of being merely about who’s evil and who’s good; that is what I like.

The third thing I like is the writer’s way of inserting magic realism elements into the story.

The fourth thing I like is the style of the novel’s translation into Indonesian. I think Nadya Andwiani is very skillful in finding the right vocabulary to describe the sentiments of the story. Usually, literary translations in Indonesian use very stiff and formal language, yet this book flows smoothly, as if the characters are speaking Indonesian. The language that the child character Jojo uses, for instance, is typical of small children.

The book opens my eyes to just how complex and multi-layered each individual person is, and that interpersonal relationships are indeed complicated; we cannot take them at face value only. The book raises my awareness that indeed, the world is a place where we get wounded and wound others, that I and other people are part of a wounded world. I’ve become aware the deeper reason why kindness is important: not to get accolades, not to perform religious rituals or to do it as an act of hypocrisy – but as an attempt to tend to these wounds.

Tiffany Tsao (writer, literary translator)

The female writer which currently has the biggest influence on my thoughts is Charlotte Brontë.

When I was small, someone gave me her novel, Jane Eyre, as a birthday gift. I read it repeatedly: before I went to bed, in the bathtub, in the school bus and in the car. Afterward, when I was a university student, I read Villette.

The thing that stands out of her novels: they feature intelligent, stubborn and ambitious protagonists who are trained to restrain themselves, to believe that they are satisfied with their life circumstances despite the fact that they have this deep hunger for something else. Up to this day, I’m always fascinated by the phenomenon of self-deception; maybe that’s why in all my works I include elements of self-deception.

Regarding the works which make me revisit my Indonesian identity: I am currently translating Budi Darma’s short story anthology Orang-orang Bloomington (the People of Bloomington) and maybe because of that, I’ll mention that work. It is set in the United States, featuring American characters yet the work does not pander to the West at all. Quite the contrary, this anthology proves that a literary work’s Indonesian identity does not rely exclusively on its content or message.

Sebastian Partogi (reporter, copywriter, literary translator)

Currently, I’m enthralled by the works of Belarusian reporter Svetlana Alexievich, especially Chernobyl Prayer (translated by Anna Gunin and Arch Tait). This is a non-fiction work dissecting the lives of those who have survived the Chernobyl nuclear power plant disaster in Ukraine (then still a part of the now-defunct Soviet Union) in 1986. Alexievich has been able to capture the stories of the “ordinary citizens” as well as the suffering they have to bear upon the devastating tragedy.

I like how Alexievich has chosen to highlight “small narratives” which have immortalized the voices of the marginalized people who, in truth, have been impacted most adversely by the Chernobyl tragedy itself.

I also like how Alexievich contrasts (collides) the bitterness of these survivors’ lives with the rhetoric of the Soviet Union rulers who attempted to minimize the significance of the incident using narratives on nationalism and national glory – using the showing, not telling writing technique; a technique which I’m still diligently learning as a reporter myself.

Thank you for your support and stay tuned for next month’s news from us!

Eliza HandayaniComment