In the Seventh Heaven and Other Poems

Budi Winawan

Translated by Dhania Sarahtika

Puisi Budi Winawan.png

in the Seventh Heaven, they judge and look downward.
But don’t actually want to descend.
in the First Heaven, they judge and look upward.
But don’t actually want to ascend.
Those on the other levels look down, then look up, then look down again, then look up again.
No one looks straight ahead.
No one is comfortable on their own level.

Before long, all the Heavens are in chaos.
Then the Heavens collapse.
The remaining people fall to the Earth.

on Earth they look in the same direction.
Upward, at where the Heavens were.
No one looks straight ahead.
No one is comfortable on Earth.

Before long, the whole Earth is in chaos.
Then the Earth collapses.
The remaining people fall into Hell.

in Hell they look in the same direction.
Upward, where the Earth was.
No one looks straight ahead.
No one is comfortable in Hell.

After a while, all of Hell is in chaos.
Then Hell collapses.
The remaining people fall into Eternal Darkness.

They can no longer look up.
Neither can they look down.
Or ahead.
or left.
or right.
There’s nowhere to look.

 

Reincarnation

I once lived as someone else
in another era, another country.
I was of another religion, another ethnicity.
I was a believer, a nonbeliever.
A conservative, a progressive.
I once didn’t give a single fuck

I was a man, I was a woman,
I was both, I was neither
I was heterosexual, I was homosexual,
I was bisexual, I was asexual.
I was monogamous, polygamous, polyamorous.
I was loyal, I cheated,
I was single my whole life

I was a trader, a laborer,
a prostitute, a government official.
I was pursuing high education,
I was not a student at all.
I was a soldier at war,
I was a wife worrying at home,
I was a kid who wondered
“Why isn’t dad home yet?”

I was a minority, I was a majority.
I was evil and oppressive,
I was good and supportive

I was an animal.
A dog, a cat.
Stray, and domestic.
An elephant, an ant.
Wild, and in a circus.
at home and was squished every time I passed,
and on grounds where humans rarely tread.
A caterpillar, a butterfly.
A pest, and living in a dense forest.
Died as a caterpillar I have,
when I was tired flying too.
I was a worm,
in the soil, in someone’s belly.
I was a chicken, a pig,
a cow, a goat.
Died for soup, roasted meat, and grilled.

I was born.
I was dead.
I was reborn,
then dead again.
Then born again.
I never asked.
I chose.

I will keep choosing to be born again, when I die.
Until I can freely choose to become different,
when I disagree with the blessing given to me at birth.
Until I can fill out my own CV.
Not with anything apart from me.
Until I can remember and be aware
of how to become someone else.
Because I have been them.
Because I am them.
I will keep being born again,
with many names,
until the world is no longer a prison,
but a palace.

Just FYI,
Men can express their emotional side.
Men can write poetry, diaries, pour out their hearts, gossip,
hug (with both women and men), even cry.
Men can cook, wash dishes and clothes,
sweep and mop the floor, and take care of their kids.

Men can own lots of skincare products,
take ages to get ready, take a cute selfie
and post it on Instagram.
Men can play with dolls.
Men can be fans of k-pop and j-pop,
memorize the songs and names of every member of all the groups we love,
even go to concerts and do the rehearsed fan chants.

FYI,
Men can look fragile, effeminate,
even like sissies, and still “be” heterosexual.
Men can look so strong and tough, handsome, masculine, brutish,
and still “be” homosexual.

Oh, and just FYI,
not everybody is heterosexual.
Men can like, can date,
can kiss, and have sex with other men.
Women can like, can date,
can kiss, and have sex with other women.
It’s okay. Humankind won’t magically go extinct.

FYI, women can wear “sexy” clothes.
Men can actually not objectify, harass, let alone rape.
And FYI, women can work even after having children.
Women don’t even have to bear children, or get married
Women don’t have an expiry date.
Women are… supposed to be allowed to talk about themselves.
Men are supposed to listen, not counter, not try to “represent”
them as if they know more.
That’s mansplaining, honey!

So FYI,
the ones who can decide how people should express themselves,
how they define themselves,
and whom to fall in love with, are ourselves.
You don’t own, or have authority over anyone or anything
beyond yourself


© Budi Winawan

English translation © Dhania Sarahtika


di Langit ke Tujuh, mereka menundukkan pandangan ke bawah.
Menilai, tapi tak mau turun.
di Langit Pertama, mereka mendongak ke atas.
Menilai, tapi tak mau naik.
Mereka yang berada di lapisan lain melakukan keduanya bergantian.
Tak ada yang melihat lurus ke depan.
Tak ada yang nyaman di lapisan Langitnya masing masing.

Tak berapa lama, seisi Langit pun kacau.
Kemudian Langit runtuh.
Sisa-sisa penduduknya jatuh ke Bumi.

di Bumi mereka melihat ke arah yang sama.
Ke atas, ke tempat di mana dulu langit berada.
Tak ada yang melihat lurus ke depan.
Tak ada yang nyaman tinggal di Bumi.

Tak berapa lama, seisi Bumi kacau.
Kemudian Bumi runtuh.
Sisa-sisa penduduknya jatuh ke Neraka.

di Neraka mereka melihat ke arah yang sama.
Ke atas, ke tempat di mana dulu Bumi berada..
Tak ada yang melihat lurus ke depan.
Tak ada yang nyaman tinggal di Neraka.

Tak berapa lama, seisi Neraka kacau.
Kemudian Nereka pun runtuh.
Sisa penduduknya jatuh ke dalam Kegelapan Abadi.

Mereka tak lagi melihat ke atas.
Tapi juga tidak melihat ke bawah.
Atau ke depan.
ke kiri.
ke kanan.
Mereka tak bisa melihat ke mana-mana

 

Reinkarnasi

Saya dulu pernah hidup sebagai orang lain
di zaman yang lain, negara lain.
Pernah beragama lain, bersuku lain.
Pernah percaya Tuhan, pernah tidak.
Pernah konservatif, pernah progresif,
pernah asal jalan

Pernah jadi laki-laki, pernah jadi perempuan,
pernah keduanya, pernah bukan keduanya
Pernah jadi heteroseksual, pernah jadi homoseksual,
pernah jadi biseksual, pernah jadi aseksual.
Pernah monogami, pernah poligami, pernah poliamori.
Pernah setia, pernah selingkuh,
pernah tidak menjalin relasi sama sekali sampai mati

Pernah jadi pedagang, buruh,
pelacur, pejabat pemerintah.
Pernah bersekolah sangat tinggi,
pernah tak bersekolah sama sekali.
Pernah jadi prajurit perang,
pernah jadi istri yang menunggu cemas di rumah,
pernah jadi anak yang bertanya-tanya
"kenapa Ayah belum pulang?"

Pernah jadi minoritas, pernah jadi mayoritas.
Pernah jahat dan menekan,
pernah baik dan pengertian

Saya juga pernah jadi hewan.
Jadi anjing, jadi kucing.
Liar, maupun dipelihara.
Jadi gajah, jadi semut.
Liar, maupun di sirkus.
di rumah dan dipites tiap lewat,
maupun di tanah-tanah yang jarang tersentuh manusia.
Jadi ulat, jadi kupu-kupu.
Jadi hama, atau tinggal di hutan yang banyak pohonnya.
Mati waktu masih jadi ulat pernah,
waktu lelah terbang juga pernah.
Saya pernah jadi cacing.
di dalam tanah maupun perut.
Saya pernah jadi ayam, jadi babi,
jadi sapi, jadi kambing.
Mati untuk jadi sop, daging bakar atau panggang.

Saya pernah lahir.
Saya pernah mati.
Saya pernah lahir lagi,
Lalu mati lagi,
Lalu lahir lagi.
Saya tidak meminta.
Saya memilih.

Saya akan terus memilih untuk lahir lagi, ketika saya mati.
Sampai saya bisa bebas memilih berbeda,
ketika saya tidak setuju dengan hadiah yang diberikan saat saya lahir.
Sampai saya boleh mengisi CV saya sendiri.
Bukan diisikan oleh sesuatu yang lain di luar saya.
Sampai saya bisa mengingat lagi dan sadar
bagaimana menjadi orang lain.
Karena saya pernah jadi seperti mereka.
Karena saya adalah mereka.
Saya akan terus lahir lagi,
dengan banyak nama,
sampai dunia tak lagi jadi penjara,
tapi jadi istana.

 

Sekadar mengingatkan,
Laki-laki boleh mengekspresikan sisi emosionalnya.
Laki-laki boleh menulis puisi, menulis diary, curhat, bergosip,
berpelukan (baik dengan perempuan
maupun dengan sesama laki-laki), bahkan menangis.
Laki-laki boleh memasak, mencuci piring dan pakaian,
menyapu dan mengepel lantai, juga merawat anak.

Laki-laki boleh punya banyak produk skin care,
dandan berlama-lama, selfie dengan pose imut
dan memajangnya di Instagram.
Laki-laki boleh menyukai dan memiliki boneka.
Laki-laki boleh menyukai k-pop dan j-pop sampai hapal lagu-lagunya,
hapal semua nama anggota dari semua grup yang kami sukai,
bahkan datang ke konser dan bersorak sesuai pola yang ditentukan.

Sekadar mengingatkan,
Laki-laki boleh terlihat lemah, feminin, lenje,
bahkan ngondek dan tetap “jadi” heteroseksual.
Laki-laki boleh terlihat gagah, tampan, maskulin, garang,
dan tetap “jadi” homoseksual.

Oh ya, sekadar mengingatkan,
tidak semua orang itu heteroseksual.
Laki-laki juga boleh menyukai, berpacaran,
berciuman, berhubungan seksual dengan sesama laki-laki.
Perempuan boleh menyukai, berpacaran,
berciuman, berhubungan seksual dengan sesama perempuan.
Peradaban tidak akan punah hanya karena hal tersebut.

Sekadar mengingatkan, perempuan boleh pakai baju “seksi”.
Laki-laki bisa kok tidak mengobjektifikasi, melecehkan, memerkosa apalagi.
Sekadar mengingatkan, perempuan boleh bekerja bahkan setelah punya anak.
Perempuan bahkan tidak harus punya anak, dan tidak harus menikah
apalagi sampai dipatok umur segala.
Perempuan itu… harusnya diperbolehkan berbicara soal diri mereka sendiri.
Laki-laki harusnya mendengarkan, tidak membantah,
tidak berusaha “mewakili” seolah tahu lebih banyak.
Mansplaining, tauk!

Sekadar mengingatkan,
yang boleh mengatur cara berekspresi, menentukan identitas diri,
dan kepada siapa jatuh hati, ya cuma diri sendiri.
Jangan pernah merasa kamu memiliki dan berhak mengatur
siapa pun dan apa pun
di luar dirimu

© Budi Winawan


IMG_20191013_160625-01.jpeg

BUDI WINAWAN sehari-harinya bekerja sebagai seorang editor video. Ia biasa menulis puisi dan membacakannya pada Sabtu setiap akhir bulan di Paviliun Puisi, dan setiap beberapa minggu sekali untuk podcast Secangkir Puisi Sebait Kopi di Spotify. Suka membaca puisi yang menggunakan banyak metafora, tapi lebih terbiasa menulis dengan bahasa yang sangat gamblang. Beberapa tema tulisan yang menjadi fokusnya adalah gender, seksualitas, keberagaman, proses penerimaan diri, dan tentunya cinta.

DSC_0046.jpg

DHANIA SARAHTIKA currently works as an editor/translator for a Jakarta-based socioeconomic research institute. Prior to that, she was a journalist for over two years. Her writings have been featured in the Jakarta Globe and Manual Jakarta. Some articles she is most proud of include “Is Indonesian Literature Written in English Still Indonesian Literature?”, which sparked debates among Indonesian writers and literary critics, and “Wanted: More Women Film Critics”, which addresses the lack of women’s voices in the Indonesian film criticism scene. When Dhania is not working her nine-to-five job, she occasionally translates films to be sent to international festivals.

Photo Jayu Juli.jpeg

JAYU JULI works at at the Gudskul Ecosystem art collective (affiliated with RuangRupa-SERRUM-GHH). As an artist, she also has a studio there, at Gudside. With her husband she creates an audiovisual performance project called PlusMinus. Jayu likes to work with watercolor best. See some of her works on Instagram @jayujuliproject and on her website www.jayujulie.id.

THESE POEMS ARE PUBLISHED AS PART OF INTERSASTRA’S UNREPRESSED SERIES.

#Unrepressed

#InterSastra