Hester dan Dunia Luar

Sofie Laguna

Terjemahan Eliza Vitri Handayani

Aku tidur di kaki Bot dan Tas. Tempat tidur sempitku melintang di ujung tempat tidur luas mereka. Bila kutolehkan kepala di kala malam dan cahaya bulan merembes masuk, kulihat bukit kaki Bot di samping wajahku. Kaki Tas tak dapat kulihat, tapi aku tahu kakinya ada—tanpa sepatu, tergeletak miring, terlelap.

Tiap malam Tas membungkus sekujur tubuhku rapat-rapat dengan selimut, melekatkan tubuhku ke ranjang. “Tidurlah, Hester, jangan bersuara sedikit pun, jangan bergerak-gerak.” Tiap malam aku berbaring telentang menatap menembus kegelapan ke arah awan cat kelabu, retakannya yang berbentuk sayap, dan tirai putih yang sesekali melambai.

Pus ada di sana, dan bersama kami menanti burung mimpi. Burung mimpi Pus bersembunyi di balik rumput panjang, berkejaran, melompat. Dalam burung mimpiku segalanya putih tanpa dinding. Burung bernyanyi dan terbang, begitu pula aku. Lalu burung menjelma banyak burung. Tiap bagian diriku bergerak dengan banyak burung—jemari, rambut, dan jempol kakiku, semua berputar dan berpusar dalam lingkar-lingkar burung. Yang mana aku dan yang mana burung?

 

Rahasia tak punya suara; ia tinggal di sudutmu tergelap, duduk dan menunggu. Kadang ia melompat atau bergoyang, tapi kebanyakan ia menunggu bagai laba-laba menunggu lalat. Rahasia tumbuh tebal bagai gumpal jaring yang dipintal laba-laba di sekeliling lalat saat ia membuat perangkap. Lalat tak dapat bernafas atau mencium di dalam sana—seluruh dunianya menempel ke wajahnya, kecil bagai matanya.

 

Aku duduk di lantai bersama Pus. Ia berguling ke punggungnya lalu melompat mengejar benang wol kuning. Kutarik wol itu darinya dan Pus melompat lagi. Ia meliukkan tubuhnya di udara dan berputar. Ia lari ke bawah meja lalu lari kembali kepadaku. Tas menjahit, kakinya memompa lantai tap tap tap, jarumnya menusuk kain putih tsk tsk tsk. Geli tumbuh dalam diriku.

Benang wol kuning melilit kaki Pus yang berbulu hitam, Pus berguling ke punggungnya, benang wol membelit perutnya. Benang wol berputar, putar, putar sekeliling tubuh Pus hingga Pus menjadi sebuah bola kuning kusut. Ke mana pun ia bergerak ia justru semakin terbelit. Pus bermain seperti anak-anak di kaki Kristus ketika ia mengunjungi pasar di Alkitab Ringkas Bergambar.

Rasa geli tumbuh kembang dalam diriku, ia mendorong hidung dan mulutku ingin keluar. Pus melompat dan meliuk dan jatuh menimpaku. Mulutku terkatup erat; aku menahan gelak tawa karena aku tahu ia akan jadi masalah. Pus melompat ke pangkuanku, lalu gelak tawa itu tumpah keluar, seperti bersin dari jempol kaki ke atas.

Aku menertawakan Pus hitam yang berguling dan berguling, bulunya hitam-kelabu mengilap terbelit dalam jala wol kuning. Aku tertawa dan tertawa. Aku tak sanggup berhenti. Yang masuk melalui mataku menggelitik bagian dalam tubuhku dan membuatku tertawa makin keras. Aku sampai berguncang. Tas bangkit dari kursi menjahitnya, gunting jatuh dari pangkuannya; diraihnya daguku dengan jemarinya yang tebal karena menjahit, dan digoyangkannya kepalaku dari sisi ke sisi, mata birunya menatap mataku.

“Kau tertawa seperti setan. Sumpah, ada setan dalam dirimu!” Tawa minggat dari tubuhku dan melompat ke jemari Tas yang masih mencengkeram daguku. Aku tak dapat mendengar tawa lagi setelah itu, ia bersembunyi di suatu sudut dalam tubuh Tas. Tertawa sama saja dengan menangis; pada ujungnya kau merasa sehampa udara.

Ada setan dalam tubuhku... Apakah rumahnya di tulang bagian bawah punggungku? Apakah si setan berasal dari tempat yang sama dengan tawa? Tempat yang jauh di dalam, tempat yang tak dapat kusentuh dengan jari?

 

Tas bilang, “Bila kamu sudah besar, kamu boleh pindah ke kamar kosong milikmu sendiri.”

“Kapan itu?” tanyaku.

“Setelah kuputuskan,” jawabnya. Aku berjalan ke kamar kosong yang akan jadi milikku setelah Tas memutuskan sudah saatnya. Aku duduk di lantai. Pus juga ada di sana. Kamar itu tak lagi kosong—ada Hester dan Pus di sana. Aku ingin tahu berapa kali jarum mesti berputar mengelilingi wajah jam di dapur, di atas kompor, sebelum Tas memutuskan sudah saatnya.

Bot melihatku duduk di kamar itu. “Kamu tahu kamu tak boleh masuk ke sini.”

Tas mendengarnya dan berlari mendaki tangga, mendesis seperti Pus di sudut. “Jangan kaupaksa aku, gadis kecil, jangan kaupaksa!” Ia menampar kupingku, menabuh lonceng yang berdering di kepalaku. Semakin kusimak deringnya semakin keras hingga ia menjelma sebuah lagu utuh dengan syair dan denting lonceng yang menyertai. Tidak seperti lagu yang menguar dari kotak radio Tas, tidak seperti lagu mana pun yang pernah Tas dengar. Aku pun tersenyum, itu lagu rahasia khusus untukku.

 

Aku duduk dan aku duduk dan aku makan apa yang diletakkan di hadapanku. Paha ayam, sereal dan susu, babi dan jagung, roti dan minyak. Paha ayam dulu ayam yang berjalan. “Kenapa ia berhenti berjalan?” suatu waktu aku bertanya pada Bot. Tas belum kembali dari melipat sprei di ruang cuci.

Bot menepuk-nepuk kepalaku. “Ia nahas,” katanya. Minyak membuat roti berat. Ia kudorong dengan garpu yang tajam.

Tas kembali. “Jangan main-main dengan makananmu, Hester. Telan! John, apinya butuh tambahan kayu.” Bot meninggalkan dapur. Kutaruh roti di mulutku, tapi aku tak dapat mengunyah. Gigi dan lidah menolak. Roti yang berat memadati seluruh ruang. Aku tak dapat menelan. Tas mengamatiku, menunggu roti turun ke kerongkongan Hester, tapi roti tak mau. Roti tersangkut.

“Telan!” Tak ada tempat lain untuk mengalihkan pandangan kecuali wajah Tas. Roti memenuhi seluruh ruang. “Ulah apa lagi ini, Hester? Sudah kubilang kau harus habiskan makananmu.” Tas bermata biru dengan noda merah jambu di bawah salah satu matanya, berbentuk laba-laba kecil berkaki tiga. Laba-laba merah jambu. Laba-laba itu bertambah merah seraya Tas memelototiku dan roti yang tersangkut marah di mulutku. Tas menggali dan mendorong roti. “Rakus, rakus, kau sungguh menguras kesabaranku!” Jari-jarinya mencakar bagian dalam pipiku seperti Pus mencakar karpet.

Tas mendorong turun roti yang marah dengan jari-jarinya. Nafasku tak dapat menembus roti dan jari-jari. Roti yang marah memenuhi ruangan dengan jeritannya, tidak tidak tidak! Bot datang berlari ke dapur. Ia menarik Tas lepas dariku dan mencengkeram pundaknya. Laba-laba merah jambu berputar dalam lingkaran kecil di bawah matanya. Tas gemetar. Bot memerintahkannya agar berbaring di atas. Bot memberiku air. Aku minum airnya. “Kau sebaiknya tetap duduk sampai makananmu habis,” kata Bot. Kucecap darah.

 

Aku berbaring di lantai selasar, jemariku menyusuri retakan-retakan gelap di antara papan ubin. Tas ada di ruang cuci, memberitahu Bot bahwa cara ia melakukannya salah. Aku tak dapat dengar kata-kata jawaban Bot, hanya suara lembutnya. Ia ingin Tas diam. Suara Tas adalah garis tipis. Suara Bot basah seperti seember tadahan air hujan.

“Hester, ke sini!” Seseorang memanggilku. Aku bangkit dan berjalan ke dapur.

Garis suara Tas menipis dan menghitam. “Berapa kali aku harus minta? Tiap hari sama saja!”

 

Kenop bundar pintu belakang berkata, “Putar aku.” Ternyata kenop yang memanggil. “Putar aku, Hester,” katanya lagi.

Suara Tas terus bergaung, “Sekarang aku mesti bagaimana?”

Dunia luar terlarang karena ia tak memiliki dinding atau atap yang memberitahumu kapan mesti berhenti. Bot boleh pergi ke sana untuk membelah kayu, Tas boleh pergi ke sana untuk menjemur pakaian, tapi Hester tidak boleh, karena Hester sebuah keganjilan yang lahir terlambat. Selama ini aku melihat dunia luar hanya melalui jendela. Kala gorden siang hari diturunkan untuk dibersihkan aku memanjat lengan sofa, telungkup di sana seperti Pus bermandi matahari, dan menatap dunia luar sementara Tas mencuci gorden. Kapan saja aku menatap dunia luar aku dapat mendengar slap slap slap gorden menghantam lantai cuci yang pejal. Lalu kuintip Tas membawa gorden ke luar dalam keranjang anyam dan menggantungnya. Pus juga menatap, berkedip di sampingku. Gorden bergantung seperti dinding cokelat tebal di tali jemuran, bergerak maju dan mundur tertiup angin. Aku ingin melihat lebih banyak dunia luar, maka aku beringsut turun dari sofa dan menekan hidungku ke kaca jendela. Aku mencoba melihat melampaui kelokan, tapi dinding Jalan Cott Nomor Satu menghalangi pandangan.

 

Sekarang Tas tak ada di ruang cuci menyikat gorden, ia menggandeng Bot ke ruang tamu. “Sudah berapa kali, John? Mengapa harus begini setiap kali?”

“Putar aku, Hester,” kata kenop. Aku melangkah mendekat. “Aku temanmu, putar aku.”

“Apa itu teman?” tanyaku.

“Teman memberimu gambar,” kata kenop. Aku menggapai dan memutarnya. Pintu belakang mengayun terbuka dan aku melangkah keluar. Aku menerawang ke dunia terlarang yang ditumbuhi sebatang pohon.

 

Aku melangkah ke rerumputan yang tinggi dan hijau. Mereka menggaruk kakiku di atas kaus kakiku. Pohon ini berbeda dengan pohon yang ada di surga Yesus. Pohon ini tak punya daun dan ia bercabang ke mana-mana seperti lidah api di kompor kayu merah. Seolah api berhenti menari dan menjelma pohon. Pohon merentangkan lengannya ke atas, seperti Hester merentangkan tangan untuk memutar kenop. Pohon menggapai dengan jemarinya yang bagai api majemuk. Kutengok arah ia menggapai, naik naik, ke angkasa. Kenop apa yang ingin pohon putar? Pintu apa yang ingin pohon buka?

Matahari membakar wajahku terik. Langit adalah rumah matahari. Matahari ada di sana ketika Yesus bangkit pada hari kelima dalam gaun putihnya. Dua perempuan melihatnya ketika mereka berjalan ke pasar. Yesus ingin pergi ke tempat yang sama dengan pohon. Pohon ingin membuka pintu ke rumah matahari! Aku berdiri dan menatap hingga tetes air keluar dari mataku yang kesilauan.

Aku berjalan ke sisi seberang; kaus kaki tanpa kaki di dalamnya dan celana tanpa paha di dalamnya tergantung di tali jemuran. Kemeja Bot bergantung terbalik pada lengannya. Di dalamnya tak ada tangan, dada, atau leher Bot. Tangan, dada, dan leher Bot ada di dapur sedang dibentak oleh Tas. Aku masih bisa dengar garis-garis hitam suaranya. “Kau tak memperhatikan! Kau tak pernah pakai mata!” Kemeja-kemeja melambaikan lengan mereka yang kosong bersama angin.

Aku berjalan mengarungi rumput yang menggaruk menuju pohon. Kusentuh batangnya dan kutekankan telingaku ke sana. “Hester... cantik... jelita... Hester...” Begitu kata-kata kayu pohon, ia mengirimnya langsung melalui terowongan telingaku menuju lubuk tempat pesan-pesan datang. Kulekatkan bibirku ke tubuhnya yang tebal dan kucium ia seperti Tas mencium kepala Pus, cup cup.

Pohon penuh garis-garis pendek membentuk segala macam bangun dan benjolan, seolah seseorang menggambari pohon dengan pencil tajam Tas yang digunakannya untuk menulis daftar. Aku lihat ada gambar tikus dan botol dan sayap. Siapa yang tinggal di luar sini dan membuat gambar-gambar rahasia di tubuh pohon? Apa dia teman?

Aku membungkuk hingga lututku jadi dekat dengan wajahku dan kutepuk-tepuk tanah di sekeliling pohon. Sebarisan semut melintasi tanah yang sarat kerikil, satu mengekori lainnya. Kuletakkan jari memotong lintasan mereka dan semut memanjat jariku. Sebatang jari tak sanggup menghentikan mereka. Aku berbaring tiarap dengan wajahku dekat dengan barisan semut. Kuperhatikan semut-semut berjalan cepat. Aku menoleh ke belakang. Adakah barisan Hester-Hester lain mengikutiku? Kulihat semut-semut berjalan menuju sebuah lubang hitam kecil. Mereka mengikuti satu sama lain masuk ke dalam lubang. Apa mereka pulang ke rumah? Ada apa di bawah sana? Bagaimana semut-semut tahu itu rumah mereka?

Aku memandang tanah yang sarat kerikil. Kerikil dalam segala bentuk, masing-masing berbeda. Aku dapat membuat mahkota dari kerikil dan benang, dengan mentega sebagai lem. Aku akan mengenakannya di kepala dan berdoa sambil menari dalam lingkaran. Kupungut dua butir kerikil, kugelindingkan di tanganku. Kurasakan ujung-ujungnya. Siapa yang membuat kerikil? Siapa yang memiliki kerikil?

Aku menawarang ke dalam rerumputan. Kulihat bunga-bunga. Mereka lebih kecil daripada bunga-bunga di taman Eden dan ada lebih banyak. Bunga-bunga merah jambu seperti topi-topi kecil berwarna cerah. Bunga-bunga oranye memakai rok, dan di tengah rok oranye ada mata yang menatap. Melalui mata itu bunga-bunga menyaksikan bagaimana tanah bergerak, tiap butir bergesekan dengan lainnya, senantiasa bertukar tempat. Bunga-bunga oranye memakai rok untuk berdansa bersama kaki-kaki yang lewat. Bunga-bunga ungu adalah cangkir yang penuh dengan teh rasa madu. Kudekatkan wajahku dan kuhirup sedikit. Kupejamkan mata. Selimut ungu, oranye, dan merah jambu menghujaniku.

Kuberbaring sambil menyimak suara semut berbaris. Kudengarkan pensil membuat gambar-gambar di pohon dan kudengarkan pohon menggapai kenop pintu rumah matahari.

Kudengar suara lain lagi, jauh di dalam, dari tempat yang tak dapat kusentuh. Suara Tas meneriaki Bot sekuat tenaganya. Tak lama lagi Tas akan mencariku di kamar tidur, tempat aku semestinya berada, di lantai membaca Alkitab Ringkas Bergambar. Lalu akan ada masalah. Tas akan meneriakiku sekuat tenaga. Aku berdiri dan berlari menyeberang rerumputan kembali ke undakan rumah dan pintu. Kuberputar dan menatap dunia luar yang terlarang—tak ada jendela berdebu antara aku dan dunia itu—untuk terakhir kalinya. Aku istri Luth di tebing, berpaling. Akankah dunia luar sirna begitu aku menutup pintu? Aku menatap hingga aku dapat melihatnya meskipun mataku terpejam lalu aku melangkah melalui pintu dan menutupnya di belakangku.

 

Aku dikurung di dalam rumah sekarang. Dinding dan langit-langit dan lantai memberitahuku kapan mesti berhenti, seperti jaring laba-laba memberitahu lalat kapan mesti berhenti. Di suatu tempat ada Bot dan Tas, tapi aku tak tahu di mana. Jalan Cott Nomor Satu hening, tetapi suara Tas tetap terpantul-pantul di sekeliling ruangan: John, berkali-kali, demi Tuhan, kenapa, kau, mengecewakan. Satu-satunya yang kurang adalah mulutnya dengan terowongan gelap yang menuju ke lubuk tempat pesan-pesan berasal. Aku merangkak seperti Pus, menghindari kata-kata Tas yang memantul di dinding-dinding dan lantai, mencari-cari telinga untuk dirasuki. Aku memanjat tangga satu langkah dua langkah tiga langkah empat, melewati kamar yang akan jadi milikku setelah Tas memutuskan sudah saatnya, sampai aku tiba di kamar tidur utama. Kuambil Alkitab Ringkas Bergambar dari bawah tempat tidurku, kubuka dan kusentuh istri Luth dengan jemariku. Ia berdiri di tebing tinggi dengan wajahnya menghadap ke belakang, sepucat abu. Mantelnya berkibar ke belakang seperti sayap yang keras. Ia mencari barisan istri-istri Luth yang lain. Mereka tak ada di sana dan karena itu istri Luth sedih. “Luth,” kataku, “Luth, di mana kau? Kau sudah makan malam, Luth? Sebaiknya kauhabiskan semuanya.”

“Hester, aku datang sebentar lagi untuk memeriksamu,” Tas memanggil dari kamar mandi. Kudengar toilet disiram. Kubalik halaman supaya istri Luth bisa tidur, dan kutunggu Tas datang untuk memeriksaku.

 

Malam hari, aku mendengar nafas-tidur Bot dan Tas hirup hembus hirup hembus hirup hembus. Bot bernafas seolah udara seberat sekarung terigu. Tas hanya bernafas ketika mengembus. Siulan kecil. Tiap malam laguku bernyanyi sendiri seiring irama nafas mereka. Aku bergolek telentang dan kutarik lenganku keluar dari selimut yang ketat. Kututup mata dan kulihat pohon di dunia luar. Ia menggapai dan aku ikut menggapai, memencarkan api jemariku sejauh dan setinggi mungkin, pencar pencar, cukup jauh dan tinggi untuk mencabik rumah matahari.

 


SofieLaguna.com

SofieLaguna.com

Sofie Laguna memenangkan Miles Franklin Award 2015 untuk novelnya The Eye of the Sheep, novel itu juga masuk daftar panjang IMPAC Dublin International Literary Award 2016 dan daftar pendek Stella Prize 2015. Novel One Foot Wrong masuk daftar pendek Prime Minister's Literary Awards 2009 dan daftar penjang Miles Franklin Literary Award 2009. Nukilan novel One Foot Wrong di atas diterjemahkan dengan izin penulis.

Terjemahan ini diterbitkan dalam serial Oleh-oleh Sastra, yang memuat terjemahan karya penulis yang kami anggap luar biasa dan yang kami jumpai dalam pengembaraan kami. Daftar lengkap seri Oleh-oleh Sastra bisa dilihat di sini.

#OleholehSastra    #LiterarySouvenirs