November 2020

Discussion with authors Ros Aruna and Kadek Sonia Piscayanti at the launch of Unrepressed series. May 2018

Discussion with authors Ros Aruna and Kadek Sonia Piscayanti at the launch of Unrepressed series. May 2018

(IND) (ENG below)

Rampungnya serial MELAWAN REPRESI 2018-2020 

Sebagaimana teman-teman ketahui, sejak Mei 2018, kami telah menampilkan serial sastra dwibahasa Unrepressed (Melawan Represi) yang terdiri dari 40 cerita pendek dan puisi karya penulis Indonesia dan beberapa penulis luar negeri. Serial ini bertujuan membuka ruang kreatif untuk menyelusuri masalah-masalah sosial dan politik yang seringkali dibungkam di tengah meningkatnya represi di Indonesia. Mulai dari isu perusakan lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga, radikalisme agama, hingga penindasan kaum minoritas di Indonesia, dengan berani penulis-penulis dalam serial ini membuka mata kita terhadap kisah-kisah mereka yang mengalami isu-isu di atas.

Para penulis awal karier dalam serial Unrepressed juga telah melalui proses pembimbingan dan penyuntingan bersama editor Eliza Vitri Handayani. Beberapa dari mereka, Mardian Sagian, Nurillah Achmad, Benefita, dan Shofwan berbagi cerita tentang bagaimana proses bersama InterSastra telah membantu mereka mengasah suara, menajamkan perspektif, dan meningkatkan keterampilan menulis mereka.

Mardian menulis cerpen berjudul “Munada, tentang komunitas agama yang mulai membunuhi perempuan setelah tidak seorang pun bayi laki-laki terlahir di pulau mereka selama sepuluh tahun. “Inspirasi ini muncul saat saya mendengar dan melihat, baik di dunia nyata maupun dunia maya, kelompok-kelompok fanatik yang mengatasnamakan Tuhan merasa punya privilese untuk mendiskreditkan kelompok lain, dalam hal ini perempuan,” tutur Mardian dalam sebuah surel.

“Karya saya cukup mentah pada mulanya. Dalam proses penyuntingan, cerpen ini melalui beberapa tahap mulai dari hal sesederhana ejaan dan unsur kelogisan, hingga substansi cerita mulai dari alur, sudut pandang, dan yang paling penting, esensi dari upaya ‘melawan represi’ itu sendiri. Proses penyuntingan ini tidak hanya memperbaiki cerita, tetapi juga memperbaiki mental saya dan memperdalam pemahaman saya soal teknik penulisan. Meski prosesnya dilakukan melalui surel, hal ini sama sekali tidak menghambat koordinasi dan diskusi kami dalam membedah ‘Munada’.”

Menurut Mardian, Eliza selaku penyunting serial Unrepressed sangat profesional dalam membimbingnya melewati beberapa tahapan teknis penggarapan karya sastra. “Proses penyuntingan ini memberikan tantangan bagi saya untuk tidak mudah terperdaya pada mood (suasana hati) dalam menulis, sembari memperdalam riset tekstual atau kontekstual terkait permasalahan perempuan yang saya tulis, menambah referensi bacaan sebagai acuan gaya cerita, dan memperkaya diksi,” lanjut Mardian.

Sementara itu, Nurillah menggarap cerita berjudul “Kaki-Kaki yang Terbenam dalam Bayang-Bayang” yang bercerita tentang pemiskinan masyarakat dan peminggiran kelompok kesenian Jaranan, Reog, dan Janger di Jember, Jawa Timur.  Akibatnya, banyak sekali warga yang mengadu nasib sebagai tenaga kerja imigran (TKI), yang ujungnya hanya memperburuk lingkaran pemiskinan dan kekerasan.

Nurillah mengatakan bahwa ini adalah kali pertama ia dibimbing oleh seorang editor. “Sebelumnya apabila saya mengirimkan karya ke media lain, sama sekali tidak ada revisi,” ujarnya. “Saya sangat bersyukur karena Mbak Eliza sangat telaten dalam membimbing. Proses ini membuat saya melihat bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang telah dibayangkan secara utuh.”

Sementara itu, Benefita menulis “Papa”, yang menceritakan hubungan antara seorang anak dengan ayahnya yang ingin menyetir masa depan anaknya. “Inspirasi cerita ini adalah kehidupanku sendiri. Untuk prosesnya, aku berusaha mengeluarkan isi hatiku sejujur mungkin. Bisa dibilang, ini seperti surat untuk ayahku,” kata Benefita.

Ia mengatakan bahwa proses pembimbingan membuatnya melihat ceritanya dengan kacamata kritis, ia pun mendapat banyak ilmu kepenulisan dan teknik penceritaan. Benefita juga sungguh-sungguh menghargai upaya InterSastra menerjemahkan cerpennya ke bahasa Inggris serta membuatkan ilustrasi untuk karyanya sehingga menarik minat pembaca yang lebih luas dan beragam.

Sementara itu, Shofwan, penulis cerpen “Salat di Penghujung Malam” yang bercerita soal pencarian Tuhan seorang queer, menghaturkan penghargaannya untuk InterSastra karena telah bersedia mewadahi karyanya yang bermuatan sensitif. “Saya sangat puas dengan pengalaman [menulis] bersama InterSastra. Pembaca menyukai karya saya. Bahkan ada yang menangis. Yang paling berkesan adalah ketika ada pembaca yang mengingat sebuah kutipan dari teks saya,” ujarnya.

Seperti Shofwan, Mardian juga dengan bangga dan bersemangat membagikan karyanya yang telah dimuat di InterSastra. “Tanggapan orang-orang bervariasi, tapi semuanya mengapresiasi. Mereka menangkap pesan penting dari ‘Munada’: bahwa tidak semua imam harus diteladani dan perempuan adalah sosok yang kuat dan penting,” ujarnya. Para penulis lain pun mengungkapkan kegembiraan karena karya-karya mereka diterima dengan hangat oleh para pembaca setelah InterSastra dengan giat mempromosikan karya-karya mereka melalui media sosial dan newsletter bulanannya.

Jangan lewatkan dua terbitan terakhir dari serial Melawan Represi, yang diterbitkan pada Desember 2020: “Betang” oleh Restiana Purwaningrum, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Zoë McLaughlin, tentang sebuah keluarga Dayak yang bimbang untuk terus tinggal di rumah panjang tradisional mereka, dan “Lirik Mediterania dan Puisi-puisi Lainnya” oleh Khairani Barokka, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Novia Rika Perwitasari.

Jika kamu menghargai kerja InterSastra untuk memajukan sastra Indonesia yang bebas dan beragam, berkenanlah menyumbang kepada kami apabila memungkinkan, melalui Bank Mandiri 166 0000 463 299 a/n Noerhayati QQ Eliza Vitri. Terima kasih, dan sampai jumpa bulan depan!

(ENG)

After translating and publishing the works of 40 writers from all over Indonesia and abroad, our Unrepressed series is concluding in December 2020. The series aims to encourage literary exploration of social and political issues, which have often been suppressed in today’s increasingly repressive Indonesia. From environmental destruction, domestic violence, impoverishment of communities, religious extremism, to persecution of minority groups, the writers we featured have boldly presented fresh perspectives for understanding those issues. 

The emerging writers in the series went through mentoring and editing process with the series editor, Eliza Vitri Handayani. Now some of these writers, Mardian Sagian, Nurillah Achmad, Benefita, and Shofwan are sharing their experience in working with InterSastra, how it has helped them clarify their voice, sharpen their perspectives, and elevate their writing skills.

Mardian wrote a story called “Munada, translated into English by Liswindio Apendicaesar, about a religious community that started murdering girls and women as sacrifical offerings after not seeing the birth of a single baby boy in their island in over ten years. “I was inspired to write this story after seeing and hearing, in real life and online, fanatical groups who use their privileges to discredit other groups, especially women,” Mardian wrote in an email.

“My work was pretty raw in the beginning. Then it went through several editing steps, we discussed things as simple as spelling and logic, and more substantial things such as plot, points of view, and, most importantly, what it means to say no to oppression.” He continued, “The editing process not only helped me refine the story, but also improved my mentality and honed my understanding of writing techniques. Although the process was done via email, it had by no means hampered our coordination and discussion in dissecting ‘Munada’.”

According to Mardian, as an editor Eliza was highly professional in guiding him through the editing process, turning a very raw story into a sublime one. For instance, scenes which he had initially used to open the story, he moved to the ending to strengthen the story’s coherence.

The editing process challenged me not to be deceived by my own mood while writing, and pushed me to do more textual and contextual research on women’s issues, broaden my storytelling references, and enhance my vocabulary,” he said.

Meanwhile, Nurillah wrote a story titled “Kaki-Kaki yang Terbenam dalam Bayang-Bayang” (“The Steps that Disappear Beneath the Shadows”, translated into English by Aditya Ramadhan) about the marginalization of the Jaranan, Reog and Janger traditional arts groups in Jember, East Java. As a consequence, many locals had no choice but to venture as migrant workers, which only perpetuated the cycle of poverty and violence.

Nurillah said that this was the first time she was mentored by an editor. “When I sent my works to other media, there was no editing process at all,” she said. “I’m very grateful because Mbak Eliza paid so much attention to my story. The editing process made me understand that good writing is writing that has been fully envisioned.”

Meanwhile, Benefita wrote “Papa” (“Daddy”, translated into English by Muthia Sayekti), which tells the story of a daughter and her father, who wants to control her future. “This story was inspired by my own life. Writing this story, I poured my heart as honestly as I could, without using an outline. It was as if I was writing a letter to my own father,” she said.

She said that the mentoring and editing process helped her see her personal story with critical eyes. “It prompted me to think hard on how to make my story more believable”, she said and added that she learned a lot about writing and storytelling techniques. In addition, she really appreciated InterSastra's efforts to translate her short stories into English and create illustration for her work so that it attracted a wider and more diverse audience.

Another writer, Shofwan, who wrote “Salat di Penghujung Malam” (“Night Prayer”) about a gay person’s search for God, said that he is grateful to InterSastra for publishing literary works with sensitive contents, such as the one he has written. I feel so satisfied with my experience writing for and with InterSastra. Readers like my work. Some of them even weep. What touched me most is a reader who has memorized passages from my short story,” he said.

Like Shofwan, Mardian also enthusiastically shared his short story as widely as he could. “Readers’ responses varied, but all of them appreciated my work. They understood ‘Munada’s important message: that not all imams are worth following and that women are strong and important figures,” he said. Benefita and Nurillah also expressed their joy that their stories have resonated with readers, thanks to InterSastra’s diligent promotion of their works through its social media and monthly newsletters.

Don’t miss the final pieces from our Unrepressed series, published in December 2020: “Betang” by Restiana Purwaningrum, translated into English by Zoë McLaughlin, about a Dayak family conflicted about staying in their traditional longhouse, and “Mediterranean Lyric and Other Poems” by Khairani Barokka, translated into Indonesian by Novia Rika Perwitasari.

If you appreciate our work in championing Indonesian literature and keeping it free from oppression, please consider donating to us by using this link: paypal.me/intersastra. Thank you and see you next month!

Eliza HandayaniComment