Sastra Terjemahan Kita

Arif Bagus Prasetyo

Penerjemahan adalah kegiatan yang amat kompleks. Bahasa itu sendiri sudah kompleks, tapi faktor-faktor yang terlibat dalam wacana manusia bahkan lebih kompleks. Tujuan terjemahan begitu beragam, teks demikian beragam, dan pembaca karya terjemahan juga sangat beragam. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penerjemahan, mengutip pakar studi terjemahan, I. Richards, “barangkali jenis peristiwa paling kompleks yang dihasilkan dalam evolusi jagad raya.”

 

Pada umumnya, seseorang membaca karya terjemahan karena tidak punya akses kepada sumber terjemahan. Kenapa ia tidak punya akses?

Pertama, mungkin ia tidak menguasai bahasa sumber.

Kedua, mungkin ia tidak memiliki teks sumber. Saya membaca Labirin Impian Borges terjemahan Hasif Amini, karena saya tidak mempunyai The Aleph and Other Stories, Ficciones, Labyrinths dsb – sehimpun karya Borges edisi Inggris yang menjadi sumber terjemahan Hasif. Di era informasi dewasa ini, mendapatkan buku sastra asing, apalagi yang mutakhir, tetap tak begitu mudah. Tak banyak perpustakaan yang menyediakan. Kita bisa beli di toko buku macam Kinokuniya atau via internet, tapi harganya relatif mahal. Beberapa tahun lalu, saya membeli novel A History of the World in 10 ½ Chapters Julian Barnes secara online, setelah tak menemukannya di toko buku offline. Harga bandrolnya USD 14,95 atau sekitar Rp. 150.000. Tapi saya harus membayar sekitar Rp. 300.000, karena buku dikirim dari luar negeri. Bandingkan dengan novel terjemahannya terbitan KPG, Sejarah Dunia dalam 10 ½ Bab, yang dibandrol cuma Rp. 60.000.

Sebagian besar pembaca karya terjemahan, saya yakin, tak membaca karya aslinya. Kalau begitu, bagaimana mereka mengukur kualitas karya terjemahan yang mereka baca? Kriteria paling gampang: kenikmatan membaca. Sebuah karya terjemahan akan saya anggap buruk apabila menyiksa saya: bahasanya janggal atau tak enak dibaca, membingungkan, bikin pusing, atau bahkan mencapai taraf “tak bisa dibaca” karena sedemikian kacau. Sebaliknya, karena tak bisa membandingkan dengan karya asli, karya terjemahan yang bagus bagi saya adalah yang sekadar enak dibaca.

Ada sejumlah alasan kenapa karya terjemahan bisa menyiksa pembaca.

Pertama, penerjemah tidak menguasai bahasa sumber dengan baik, atau bekerja asal-asalan.

Kedua, penerjemah menguasai bahasa sumber, tapi tidak terampil berbahasa Indonesia. Penerjemah harus kompeten dan terampil menggunakan bahasanya sendiri. Itu sebabnya karya sastra terjemahan yang dikerjakan oleh sastrawan/penulis biasanya relatif bagus bahasanya.

Ketiga, penerjemah menguasai bahasa sumber, tapi kelewat terpesona kepada teks sumber. Keterpesonaan membuatnya terlalu setia kepada teks sumber, hingga tak mau atau tak berani melewatkan detail sekecil apapun. Terjemahannya akan memuaskan pembaca yang pernah membaca teks sumber (golongan pembaca yang sebetulnya tidak butuh terjemahan), tapi bisa menyiksa pembaca lainnya yang tak punya akses kepada teks sumber. Karena itu, dalam proses penerjemahan, saya memandang penting adanya pembaca naskah terjemahan (proof reader) yang tidak pernah membaca teks sumber, sebagai wakil khalayak pembaca umum.

Sudah jelas, seorang penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan bahasanya sendiri dengan sama baiknya. Tetapi, sebagaimana disadari oleh para teoretikus studi terjemahan, kompetensi linguistik saja tidak cukup. “Pengetahuan linguistik bukan jalan yang terbaik atau bahkan jalan yang baik menuju terjemahan yang berhasil,” kata Burton Raffel. Kompetensi berbahasa tidak serta-merta menjamin mutu terjemahan.

Pasalnya, penerjemahan bukan saja melibatkan pengetahuan linguistik, tetapi juga pengetahuan ekstralinguistik atau pengetahuan ensiklopedik. Karena itu, menurut Eugene A. Nida, selain kompetensi dan keterampilan dalam komunikasi verbal, penerjemah harus punya sedikitnya tiga kapasitas lain. Pertama, kekaguman sungguh-sungguh kepada ciri formal karya yang diterjemahkan. Tanpa itu, penerjemah akan sulit memiliki kesabaran atau wawasan mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan terjemahan yang memadai. Kedua, respek kepada isi teks, agar ia tak gampang sembrono atau semena-mena mengubah kandungan pesannya. Ketiga, kemampuan mengekspresikan kreativitasnya sendiri melalui kreasi orang lain.

Terlebih dalam penerjemahan sastra. Tidak seperti pada umumnya penerjemahan karya non-sastra, penerjemahan karya sastra bukan saja mensyaratkan transmisi informasi di antara dua bahasa. Penerjemah sastra harus memperhitungkan, mengutip Richard W. Brislin, “gereget, emosi dan rasa suatu karya dalam versi bahasa orisinal; bentuk estetis yang dipakai pengarang orisinal; juga setiap informasi yang terkandung dalam pesan.” Penerjemah sastra mesti memiliki kompetensi linguistik plus kompetensi literer. Tapi ini pun bukan jaminan terjemahannya bakal berhasil. Maillot, misalnya, pernah mencatat banyak kesalahan serius dalam terjemahan Inggris-ke-Perancis karya sastra Joseph Conrad oleh Andre Gide, sastrawan kelas dunia yang tak perlu diragukan lagi kompetensinya.

Bagi E. Cary, penerjemahan adalah suatu seni. Dalam hal penerjemahan sastra, Nida mendukung pandangan Cary. Terjemahan yang memuaskan terhadap karya literer estetis, kata Nida, mensyaratkan kemampuan estetis di pihak penerjemah. Penggunaan kata-kata yang enak menuntut kepekaan estetis, sebagaimana tata warna atau tata ruang trimatra yang enak mensyaratkan kompetensi estetis. Saya sepakat, tapi bukan tanpa problem. Bagi saya, kompetensi estetis penerjemah juga potensial jadi masalah. Seorang penerjemah dengan “kepekaan estetis” tinggi (sastrawan, misalnya) bisa menghasilkan terjemahan yang enak dibaca, meski ia mengabaikan intensi dan ekspresi pengarang orisinal, atau bahkan tidak menguasai bahasa sumber dengan baik. Sebagian besar pembaca karya sastra terjemahan, yang saya yakin tidak membaca karya asli, tidak akan menyadari bahwa yang sedang dibacanya sama sekali bukan terjemahan, bukan suara pengarang asing yang bertutur dalam bahasa kita, melainkan saduran, parafrase, atau sekadar suara penerjemah yang mengatasnamakan pengarang orisinal.

Problem lain, boleh jadi seorang penerjemah sastra memiliki kompetensi berbahasa, kompetensi literer dan kompetensi estetis. Tapi jangan lupa, di antara penerjemah dan pembaca, ada editor yang berkuasa. Di negeri kita, editor cenderung menjadi sekadar pengoreksi yang bisa mengubah kerja penerjemah tanpa persetujuan penerjemah. Praktik lumrah inilah yang coba diluruskan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) beberapa tahun silam melalui Program Penerjemahan Sastra, penerjemahan novel A History of the World in 10 ½ Chapters Julian Barnes dan Dictionary of the Khazars Milorad Pavic, di mana penerjemah dan editor diberi waktu yang lebih leluasa untuk bekerja, dan bekerja sama dengan berkelanjutan dari awal hingga akhir.

Saya terlibat sebagai penerjemah novel Barnes itu, bekerja bahu-membahu dengan editor dan tim konsultan dari DKJ selama hampir setahun. Tapi setelah naskah selesai, penyunting in-house Penerbit dengan ringan melakukan banyak perubahan sepihak terhadap naskah terjemahan. Dengan alasan menyelaraskan hasil terjemahan agar sesuai dengan selingkung Penerbit, penyunting yang digaji Penerbit itu melakukan perubahan sendiri yang merusak konsistensi pemakaian istilah, melenceng dari estetika dan gaya penulis asli yang telah susah-payah berusaha dipertahankan penerjemah bersama editor dan tim konsultan semula, serta melanggar judgement call (tafsir terhadap maksud pengarang asli) yang menjadi hak prerogratif penerjemah. Setelah DKJ menyampaikan keluhan, Penerbit berjanji menerbitkan-ulang novel terjemahan ini dengan koreksi, entah kapan. Kasus ini menunjukkan bahwa kompetensi berbahasa, kompetensi literer dan kompetensi estetis penerjemah toh bisa tak berarti bagi penerbit yang punya standar dan kepentingan sendiri.

Banyak yang percaya bahwa penerjemahan adalah sebentuk pengkhianatan. Okelah. Memang mustahil bagi penerjemah untuk setia seratus prosen kepada intensi dan ekspresi pengarang asli. Dalam menerjemahkan karya Barnes yang pengarang Inggris, misalnya, saya tak mungkin menampilkan seluruh keasyikan Barnes dalam bermain-main dengan bahasa Inggris. Contohnya ketika ia menjelajahi makna “heart” sebagai organ tubuh (bahasa Indonesia: “jantung”) dan sekaligus lambang cinta (bahasa Indonesia: “hati”). Saya terpaksa berkhianat. Tapi kalau pun penerjemahan tak bisa lepas dari khianat, saya percaya pengkhianatan itu harus terukur dan terkendali dengan ketat, agar tak merosot jadi penipuan belaka. Karena itu, sebagai penerjemah, saya cenderung menghindari modifikasi suara pengarang asli secara berlebihan—misalnya terlalu menyederhanakan ungkapannya atau menjelas-jelaskan pesannya—sekadar agar hasil terjemahan menjadi lebih komunikatif atau lebih enak dibaca. Terjemahan ya terjemahan, dengan segala tanggung-jawab dan risikonya. Bukan saduran.

Ukuran mutu karya terjemahan di negeri kita sebagian besar ditentukan oleh dua pihak.

Pertama, pembaca umum, khalayak yang tertarik membaca karya terjemahan karena tak punya akses kepada karya asli. Khalayak pembaca semacam ini hanya bisa menilai mutu terjemahan dari segi komunikatifnya (apakah karya itu enak dibaca atau tidak), tanpa tahu-menahu urusan kompetensi berbahasa, kompetensi literer dan kompetensi estetik yang idealnya dimiliki penerjemah sastra. Mungkin pembaca umum bahkan tidak peduli apakah buku yang dibacanya adalah karya terjemahan atau sekadar saduran.

Kedua, penerbit, dengan segala kekuasaan dan kepentingannya dalam memilih karya apa yang diterjemahkan, penerjemah mana yang diorder, siapa editor dan mekanisme apa yang dipakai mengontrol hasil terjemahan. Upaya penghematan waktu dan biaya produksi, misalnya, bisa mengalahkan upaya kontrol mutu terjemahan. Kompetensi berbahasa, kompetensi literer dan kompetensi estetik penerjemah sastra bisa tidak signifikan di hadapan peluang pasar yang menunggu di depan mata, misalnya ketika penerbit berlomba menerbitkan secepat-cepatnya karya pengarang asing yang sedang populer.

Masih lemahnya studi terjemahan di negeri kita mengecilkan (kalau bukan menihilkan) peluang munculnya pengamat/krititikus karya terjemahan yang intens, yang bisa menjadi kekuatan kontrol alternatif di luar pembaca umum dan penerbit terhadap mutu karya terjemahan yang beredar di pasar. Di negeri-negeri Barat berbahasa Inggris, kontrol mutu terjemahan sastra dari bahasa non-Inggris ke bahasa Inggris bukan saja diperkuat oleh pengamat/kritikus karya terjemahan, tetapi seringkali juga oleh pengarang asli, yang umumnya bisa berbahasa Inggris. Tak jarang hasil terjemahan dibaca dulu, dan dikoreksi bila perlu, oleh pengarang asli, atau bahkan digarap bareng oleh penerjemah bersama pengarang, seperti sejumlah cerpen Borges terjemahan Norman Thomas di Giovanni. Selain itu, karya sastra dunia versi terjemahan Inggris (yang kelak diterjemahkan lagi ke bahasa kita) umumnya diterbitkan oleh penerbit internasional besar macam Penguin atau Vintage atau Picador, dan melibatkan penerjemah unggul macam Gregory Rabassa, sehingga mutu terjemahannya sangat bisa dipertanggungjawabkan.

Di Indonesia, dalam pengalaman saya selaku penerjemah, keterlibatan pengarang asli hanya terjadi pada penerjemahan karya non-fiksi karangan para Indonesianis asing, yang tentu saja bisa berbahasa Indonesia. Secara tidak langsung, penggunaan karya non-fiksi asing sebagai text book di lingkungan akademis kita juga membantu mengontrol mutu terjemahan Indonesianya. Sementara dalam penerjemahan karya sastra, keterlibatan pengarang asli untuk ikut mengontrol mutu terjemahan tidak bisa diharapkan. Para sastrawan dunia yang karyanya banyak diterjemahkan di sini jelas tak bisa berbahasa Indonesia. Dalam versi bahasa asing (bahasa asli atau terjemahan Inggris), karya mereka juga hanya dibaca oleh segelintir pembaca Indonesia yang punya akses kepada teks dan bahasa sumber. Tak banyak pembaca yang mampu dan mau membandingkan teks sumber dan terjemahan Indonesianya, apalagi membuat kajian bandingan kritis. Dengan demikian, kontrol kualitas terjemahan Indonesia dari karya sastra dunia boleh dibilang sepenuhnya tergantung pada integritas penerjemah dan penerbit saja.

Sering terdengar keluhan tentang rendahnya mutu kebanyakan terjemahan karya sastra dunia di Indonesia. Dari mana datangnya keluhan ini? Sedikitnya ada dua pihak.

Pertama, pembaca yang pernah membaca teks sumber, terpesona, dan kemudian kecewa membaca terjemahan Indonesia yang tak sebagus teks sumber. Golongan pembaca ini tidak banyak. Tapi meskipun minoritas, golongan pembaca inilah yang ikut mempromosikan kehebatan karya-karya sastra asing tertentu—misalnya prosa Amerika Latin atau karya sastrawan Nobel. Mereka punya akses informasi tentang perkembangan situasi literer di pusat-pusat sastra dunia (sebutlah Eropa dan Amerika Utara), juga akses bahasa dan akses fisik kepada khazanah kanon sastra dunia yang dibaptis oleh pusat-pusat itu. Meskipun jumlahnya sedikit, kalangan pembaca spesial ini biasanya punya wibawa besar di lingkungan sastra nasional kita. Suara mereka turut menentukan karya sastra internasional mana yang layak dikonsumsi publik sastra nasional—dan ini artinya potensi pasar yang layak direspons penerbit melalui proyek penerjemahan.

Kedua, mayoritas pembaca yang hanya pernah mendengar kehebatan karya sastra dunia dan nama besar pengarang dunia, penasaran, lalu membaca terjemahan Indonesia dan kecewa. Mereka kecewa mendapati bahwa karya sastrawan kondang internasional ternyata menyiksa. Seperti badut konyol menjengkelkan, para empu pengarang dunia berceloteh dalam struktur bahasa Indonesia kacau yang susah dimengerti, nyaris tanpa makna, tak ubahnya pengarang amatiran yang tak tahu bagaimana berbahasa dengan baik. Karya sastra dunia kok tidak bermutu sastra? Bukankah pengarangnya sastrawan besar yang dipuja-puji di seantero bumi? Problemnya pasti terletak pada terjemahan yang buruk, demikian kesimpulan pembaca.

Di tengah hambatan bahasa dan kesulitan mendapatkan karya sastra dunia berbahasa asing, kehadiran buku sastra terjemahan jelas sangat dibutuhkan. Secara pragmatis, sastra terjemahan menyediakan jalan kepada mayoritas publik nasional untuk mengetahui, menikmati, dan Insya Allah mengambil manfaat dari, karya sastra internasional yang mencuat pada peta sastra dunia. Tapi tanpa penerjemahan yang bermutu, terbukanya akses itu tentu tak berarti apa-apa. Masalahnya, bagaimana menghasilkan terjemahan yang bermutu? Sekali lagi, terpulang pada integritas penerjemah dan penerbit kita.

Bagaimana dengan proyek penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing? Penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris, lingua franca dunia kontemporer, misalnya, kerap dipandang sebagai strategi penting untuk membuka akses publik internasional kepada karya sastra kita. Diyakini bahwa karya sastra nasional tak kalah mutunya dari karya sastra negeri-negeri lain, sehingga terbukanya akses publik internasional akan membuat karya sastra kita diperhitungkan dalam kancah sastra dunia. Mungkin betul. Tapi bagaimana dengan mutu terjemahan karya sastra kita ke bahasa asing itu sendiri?

Sulit dipungkiri, sampai sekarang, para penerjemah karya sastra kita, termasuk para bule pecinta Indonesia, belum bisa menghasilkan terjemahan unggul yang mampu membuat karya sastra Indonesia tampil memikat di luar negeri, apalagi menarik minat penerbit internasional besar yang punya jaringan distribusi kuat dan luas – kecuali terjemahan karya Pramoedya Ananta Toer, nama yang telanjur mendunia. Mungkin penerbit internasional punya pertimbangan “politis” dalam menyeleksi karya sastra dunia ketiga. Tapi bukan mustahil pula mutu terjemahan karya sastra kita memang belum memadai menurut standar literer yang berlaku di negeri lain, khususnya negeri berbahasa Inggris yang menjadi pusat sastra dunia. Di Indonesia, puisi George Seferis dan Derek Walcott diterjemahkan dengan cemerlang oleh penyair Sapardi Djoko Damono, hingga terjemahan itu berpengaruh pada kreasi perpuisian di tanah air. Mari kita berharap kebalikannya: ada penyair unggul di negeri lain yang menguasai bahasa Indonesia dan menerjemahkan dengan cemerlang puisi Sapardi Djoko Damono.

Kebanyakan proyek penerjemahan sastra kita ke bahasa asing berskala kecil. Hasil terjemahan diterbitkan dalam jumlah dan distribusi kecil-kecilan oleh pengarangnya sendiri, atau oleh lembaga dan penerbit kecil di dalam atau luar negeri, seringkali dengan tujuan sangat terbatas, misalnya untuk memenuhi kebutuhan studi Indonesia di jurnal kecil asing, katalog festival sastra internasional, atau bahan pengajaran bahasa Indonesia untuk siswa mancanegara seperti lazim di Bali. Yayasan Lontar yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia juga belum tampak menggarap distribusi internasional terhadap hasil terjemahan mereka secara memadai. Selain masalah politis dan mutu, problem distribusi juga penting dipecahkan dalam upaya “internasionalisasi sastra Indonesia”. Tapi bukankah yang sedikit-sedikit bisa menjadi bukit? Bukankah proyek penerjemahan sastra nasional yang berskala kecil itu suatu saat mungkin meledak jadi fenomena internasional? Kita doakan saja semoga begitu.

 

Betapa pun, secara politis, penerjemahan makin dipandang penting pada era pascakolonial sekarang. Salah satu tandanya adalah merebaknya studi terjemahan di Barat sebagai disiplin keilmuan mandiri yang terpisah dari studi bahasa dan studi sastra, serta kian menyaingi wibawa studi sastra bandingan. Penerjemahan menajamkan kesadaran akan pentingnya dialog antarbudaya pada masa pascakolonial. Sebagaimana dikatakan Lila Ray, “Terjemahan, yang menggantikan pembelajaran bahasa, tetap mempertahankan jarak di antara berbagai bahasa, seraya mendekatkan berbagai budaya.”

Multilingualisme, kekayaan keragaman bahasa, dipandang penting untuk dipertahankan karena memberikan ruang seluas-luasnya bagi kebebasan ekspresi serta keragaman kreasi artistik dan intelektual. Penerjemahan sebagai bagian penting dari kesadaran multilingualisme menjadi cara strategis untuk melindungi ciri khas setiap bahasa (beserta memori pengalaman kultural yang tertanam di dalamnya) agar tak mati dilindas proses globalisasi yang menyeragamkan, dan sekaligus sarana untuk memahami budaya-budaya lain.


*37.jpg

ARIF BAGUS PRASETYO is a poet, critic, and translator. He attended the International Writing Program at the University of Iowa, the United States. His first book of poems, Mahasukka, appeared in 2000. His second book of poems, Memento (2009), received the Widya Pataka Award from the Provincial Government of Bali. His book of literary criticism, Epifenomenon, appeared in 2005. Memento: Poems (2015) is the English edition of his collected poems. The translation of this book was subsidized by the Agency of Language Development and Cultivation, Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, in preparation of Indonesia as Guest of Honor at the Frankfurt Book Fair 2015. He received the Best Literary Criticism National Award from the Jakarta Arts Council. Now he lives in Bali, Indonesia.

Eliza Handayani2 Comments