Ludah

Lars Saabye Christiansen

Terjemahan Lulu Fitri Rahman

Hari ini aku melihatnya lagi. Wanita itu muncul dari toko minuman keras di Majorstua, dengan botol-botol yang dijejalkan ke dalam tas cokelat usang, dan aku merasa malu. Malu satu-satunya kata yang bisa kugunakan—malu. Sudah dua puluh tahun aku tidak melihatnya.

Hari itu aku dan Georg pergi ke Kolam Renang Frogner. Kami melompat dari papan kesepuluh untuk pertama kalinya! Meski agak nyeri setelah itu, kami merasa berjalan di udara—serius!—kamilah juara dunia. Beberapa anak perempuan dari kelas kami berdiri di samping kolam dan melihat. Mereka mungkin telah menyebarkan kabar bahwa aku dan Georg berhasil terjun dari papan kesepuluh. Kami berusia dua belas tahun, dan hari itu hari besar—terbesar, malah, dalam hidup kami hingga saat itu. Waktu itu awal Juni; kami mencoba memanjangkan rambut, tetapi hasilnya cuma sampai separuh kening dan tiga untai di telinga kiri. Kami membeli burger untuk dibagi dua dan berlari sepanjang jalur trem Kirkengate. Matahari tinggi di langit, bunga lilac menggantung dalam rumpun-rumpun tebal, dan aku merasa tahu bagaimana burung bermimpi.

“Mau makan siang bareng di rumahku?” aku bertanya.

“Di rumahmu ada apa?”

“Sosis darah.”

“Ih, ogah.”

“Daging iris dan panekuk.”

“Oke. Aku ikut.”

Kami melewati air mancur di Jalan Gyldenløve. Airnya memancar tegak lurus ke udara, tanpa henti, tetapi tidak pernah sampai tumpah. Pasti airnya itu-itu saja, pikirku. Hari yang menakjubkan—kami terjun dari papan kesepuluh di depan anak-anak perempuan. Seekor kuda berderap di antara pepohonan di jalan setapak. Tapi tidak ada penunggang yang terlihat. Mahluk cokelat abu-abu itu tampak mengepul, bagaikan tembaga hidup—patung yang telah membebaskan diri. Kemudian, kuda itu lenyap, tapi aku bisa merasakan derap langkahnya di lereng, bagaikan getaran yang merambati tubuhku.

“Mette tadi ada di sana,” kata Georg.

“Vivi juga.”

“Menurutmu siapa yang paling cantik?”

Aku berpikir. Pertanyaan ini gampang-gampang susah. Aku tahu Georg agak naksir Mette. Karena itu aku menjawab Vivi, menurutku Vivi paling cantik. Tepat saat itu, alarm kebakaran terdengar di Briskeby dan mobil-mobil pemadam kebakaran meraung dari garasi mereka dan menghilang ke arah Homansby. Barangkali Bislet terbakar gara-gara udara panas, atau mungkin ada seekor kucing yang memanjat ke puncak pohon di Adamstue dan tidak bisa turun. Saat itu awal bulan Juni dan tak lama lagi libur musim panas tiba. Goerg akan pergi ke Ildjern dan aku sendiri akan ke Denmark untuk naik kereta, makan sosis merah, dan mungkin membeli rekaman Beatles yang belum pernah didengar teman-teman sekelas. Kami berjalan di udara; kamilah juara dunia.

“Kamu tadi takut?” tanya Georg tiba-tiba.

“Takut? Enggak, enggak kok.”

“Aku juga enggak.”

“Tapi aku agak gugup. Persis sebelum terjun.”

“Aku juga sih.”

Kami bergegas menyusuri Jalan Frederik Stang. Georg berhenti tepat di luar sebuah tangga dan menuding lantai pertama.

“Itu tempat tinggal Siv.”

“Siv dari Kelas B?”

“Ya. Dia sudah begituan.”

“Masa?”

“Benar, kok.”

“Dengan siapa?”

Tapi Georg sudah berjalan lagi. Aku berdiri di sana sebentar, menatap jendela di lantai pertama sebelum berlari mengejarnya. Memang begitu sifat Georg kadang-kadang; aku tidak tahu apakah dia hanya mengarang. Biarpun begitu, aku tetap suka Georg. Lalu, ia berkata begini:

“Kamu kenal Pak Skillebekk, tukang pos? Yang berjanggut?”

“Pasti dong, yang sepatunya besar banget, kan?”

“Dia begituan dengan ibunya.”

“Kamu asal ngomong, Georg.”

Kami melewati gedung Palang Merah. Beberapa pasien terlihat berdiri di jendela dan memperhatikan kami. Mereka tampak seperti tahanan dalam piama biru terang—tahanan seumur hidup—dan mungkin memang begitu kenyataannya. Dua dari mereka melambaikan tangan.

“Aku enggak suka kamu asal ngomong,” kataku lagi, nyaris jengkel.

“Enggak, kok. Dia memang begituan dengan ibunya.”

“Kamu tahu dari mana?”

“Tahu lah. Itu sebabnya dia punya janggut.”

Belum pernah hari terasa begitu panas dalam setahun itu. Anjing-anjing merayap melintasi bagian yang tertutup bayangan, menyeret lidah mereka yang merah terang dan berkeringat di sepanjang trotoar. Papan iklan Cokelat Freia di Egertog meleleh sore itu dan mengalir bagaikan setrip tebal emas sepanjang Jalan Karl Johan. Kami berlari dan masuk ke bangunan apartemenku di Jalan Thomas Heftye, di sana lebih nyaman, sejuk, dan tenang. Tenang, seperti yang dikatakan orang-orang yang tahu hal semacam itu; sejenis pelarian yang bisa kugambarkan sebagai antara luar dan harapan—saat masih ada waktu untuk berpaling, saat kita masih punya pilihan. Tapi kami tidak berpaling, kami berlari ke lantai tiga, sementara aroma makan malam menguar dari setiap pintu. Celana pendek kami sudah lama kering, dan kami berjalan di udara, kamilah juara dunia. Sesampainya di pintu rumahku, kami menjulurkan badan di atas susuran tangga, dan inilah kisah yang ingin kusampaikan: aku dan Georg menjulurkan badan di atas susuran tangga, menunduk menatap lantai dasar.

“Hampir setinggi papan kesepuluh,” kata Georg.

“Kurang-lebih,” sahutku.

Dan saat itulah si tukang bersih-bersih datang. Wanita itu membawa ember dan pel dari ruang bawah tanah, berhenti, meletakkan barang-barangnya di samping, lalu menegakkan tubuh sebelum membungkuk lagi di atas embernya.

Aku menoleh pada Georg. Dia menatapku. Kami tertawa. Entah mengapa, kami memikirkan hal yang sama.

“Ludah,” kataku pelan.

“Kamu dulu,” kata Georg, sama pelannya.

Aku mengumpulkan ludah banyak-banyak; rasanya seperti campuran klorin dan pasta gigi, hamburger dan permen karet, keju kambing, tinta, dan susu. Kuputar-putar di dalam mulut. Mulutku begitu penuh. Dan si tukang bersih-bersih masih berdiri di bawah sana, membungkuk di atas embernya. Dia mengenakan semacam mantel biru, sarung tangan kuning, bandana, dan sepatu bot panjang—semua itu pada hari terpanas dalam setahun ini.

“Cepat!” bisik Georg. “Ayo cepat!”

Aku memegangi susuran tangga, menjulurkan badan sejauh mungkin. Ludahku masih berputar-putar, dan aku membidik—dan aku meludah. Aku melihatnya jatuh—gumpalan putih-kelabu besar yang berat dan padat. Ludahku mendarat tepat di leher wanita itu, dan sebelum aku sempat mundur, dia membalikkan badan dan langsung melihatku. Tatapan kami bertemu. Rasanya membingungkan, seolah dia tidak mengerti apa yang terjadi. Georg berdiri menempel ke dinding, tetapi aku seakan terpaku di susuran, tidak sanggup bergerak. Wanita itu, si tukang bersih-bersih, tampak terkejut—lalu perlahan wajahnya berubah sedih. Itulah yang kuingat, wajah sedihnya, seolah dia kecewa, seolah dia mengharapkan sikap yang sepenuhnya berbeda dariku, si bocah di lantai tiga. Tetapi itu hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang terjadi sekarang. Dia menegakkan tubuh dan perlahan mengusap lehernya, perlahan menatap tangannya, melihat bagaimana ludah tebal itu bergantung di antara jari-jarinya bagaikan jaring laba-laba putih. Dia menyekakan ludah itu ke mantel birunya, dengan gerakan yang sama pelannya, dan kembali mendongak ke arahku. Apapun lebih baik daripada ini. Aku lebih senang dia memanggilku, mendampratku, berlari menaiki tangga dan memukul kami dengan tongkat pelnya—tetapi dia tidak melakukannya sama sekali. Dia hanya menatapku seraya perlahan membersihkan ludah dari tangannya. Kemudian, dia membungkuk di atas embernya lagi dan mulai mengepel, sementara aku mundur ke arah dinding dan Georg berkata, dengan lirih, bahwa dia tidak lapar dan harus pulang.

Inilah yang berkecamuk dalam pikiranku, dua puluh tahun kemudian, ketika aku melihatnya muncul dari toko minuman keras, masih kurasakan tatapannya tertuju ke arahku dari lantai dasar ke lantai tiga. Dia menyeberang jalan ketika lampu berganti merah. Dan harus kuakui, aku mengikutinya. Aku mengikutinya ke Corner Café. Sudah bertahun-tahun aku tidak ke sana, tapi tak ada yang berubah: interiornya, menunya, pelayannya, lukisan-lukisan di dindingnya—semua masih seperti dulu. Dan barangkali karena itulah aku bisa dengan lebih jelas melihat wanita itu—bagaimana waktu telah merusaknya. Wajahnya tampak kuyu; kulit di sekitar matanya berkerut-kerut dan dia terus-menerus menunduk, menunduk dan memalingkan wajah, seolah sewaktu-waktu matanya bisa menangkap cermin dan tidak akan tahan. Pakaiannya, bahkan tas tangan cokelat tempatnya menyembunyikan botol-botol dari toko minuman keras (tetapi masih kelihatan, karena kantong merahnya mencuat dari balik ritsleting) terlihat kotor—jenis pakaian yang biasa disumbangkan kepada Salvation Army saat Natal. Segala hal tentang wanita itu membuatku memikirkan erosi, waktu yang menggerus dan akhirnya melenyapkan kita, bahkan bayangan kita.

Dia memesan kopi dan pastri, lalu duduk di meja dekat jendela. Dia memandang ke luar dan dengan hati-hati menyesap cangkir yang dipegangnya dengan kedua tangan. Aku berdiri di meja layan dan mengamati wanita itu; rasanya seolah aku kembali bersandar di susuran tangga dan menunduk menatap kehidupanku sendiri. Aku bertanya-tanya berapa usianya. Aku sendiri sekarang 35 tahun; mungkin usianya pada waktu itu sama denganku sekarang—rasanya sulit dipercaya. Dan aku ingat dia tidak kembali setelah libur musim panas itu; kami mendapatkan tukang bersih-bersih baru, dan aku dan Georg tidak pernah menyebut kejadian itu lagi.

Aku membeli secangkir teh, lalu menghampiri wanita itu.

“Kursi ini kosong?” tanyaku sambil menunjuk ke arah kursi yang kumaksud.

Wanita itu kelihatan bingung, hampir tidak percaya, dan wajar dia bersikap begitu. Ada beberapa meja kosong, dan hanya ada satu pelanggan di sana, tetapi aku malah berkeras duduk di mejanya.

Dia tidak menjawab, hanya sekilas mengangkat bahu, dan kembali memandang ke luar jendela. Hujan mulai turun. Sekelompok anak dengan jins lebar dan topi bisbol terbalik berlari menuju McDonald’s. Seorang gadis berpakaian olahraga tampak berdiri di tangga Majorstua menjual koran Perjuangan Rakyat. Seorang pemabuk berbaring di luar kios koran, pipinya menyentuh aspal.

Aku duduk. Kuminum tehku dan kunyalakan rokok.

“Anda ingat saya tidak?” tanyaku kepadanya.

Wanita itu menoleh perlahan, mencengkeram cangkirnya, lalu menggeleng sambil menundukkan kepala. Jelas sekarang, mestinya aku tidak terus memaksanya; mestinya aku mengatakan sesuatu yang menyenangkan, bangkit, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Tapi tidak, aku malah mendesak. Aku merasa percaya dia membutuhkan penjelasan, bahwa aku berutang hal itu kepadanya.

“Saya dulu tinggal di Jalan Thomas Heftye,” kataku. “Anda dulu kerja membersihkan tangga di sana, kan?”

Wanita itu mencondongkan badan di atas asbak dengan pastrinya yang baru dimakan separuh.

“Kamu salah orang,” katanya.

“Nomor delapan. Lantai tiga. Sedikitnya dua puluh tahun yang lalu. Saya masih ingat betul.”

Tiba-tiba dia mendongak. Dia berkata, hampir dengan marah: “Kamu keliru! Aku tak pernah kerja jadi tukang bersih-bersih! Dan aku tidak kenal kamu!”

Kemudian dia bangkit, mengambil tas tangannya, lalu bergegas ke pintu. Di sana dia berhenti sejenak. Dia mengangkat tangan, lalu dengan cepat mengusap lehernya.

 

© Lars Saabye Christensen, dengan persetujuan penulis.

Terjemahan bahasa Indonesia © Lulu Fitri Rahman.

Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris © Kenneth Steven, bisa dibaca di Words Without Borders.