Pusat Penerjemahan: Belajar dari Korea dan Hongaria

Cecep Syamsul Hari

Pertama terbit di Kompas, 12 April 2009

Tiga tahun lalu ketika saya menjadi sastrawan tamu di Korea dan pada hari ketiga saya tinggal sebagai sastrawan tamu di Hongaria, saya teringat kepada Harry Aveling yang selama tiga dekade setia menerjemahkan puisi-puisi para penyair Indonesia dari berbagai generasi ke dalam bahasa Inggris. Salah satu bukunya yang dikenal luas dan belum begitu lama diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia, Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), banyak dirujuk para penulis buku antologi puisi di berbagai belahan dunia, antara lain dirujuk Tina Chang (salah seorang penyair Amerika Serikat kontemporer) yang menjadikannya sebagai salah satu sumber referensi ketika memilih enam penyair Indonesia untuk dimasukkan ke dalam bukunya yang banyak diperbincangkan sepanjang tahun 2008 di Eropa dan Amerika, Language for a New Century: Contemporary Poetry from the Middle East, Asia, and Beyond (New York: W.W. Norton & Company, 2008).

Di samping Harry Aveling, saya teringat pula pada kesetiaan, untuk menyebut beberapa nama: A Teeuw, Berthold Damshauser, John McGlynn, dan Maxwell Lane. A Teeuw berjasa memperkenalkan para penyair Indonesia era 1940-an hingga 1970-an kepada khususnya publik Eropa. Begitu pula Berthold Damshauser yang telah menyerahkan dirinya dengan tabah menjadi “sahabat tradisional” para penyair Indonesia dari masa Ramadhan KH hingga Agus R. Sarjono. McGlynn antara lain menerjemahkan buku antologi puisi prestisius para perempuan penyair Indonesia, A Taste of Betel and Lime, dan menerjemahkan novel karya Ismail Marahimin, And the War is Over, yang sejauh ini pada hemat saya merupakan novel yang paling berhasil mengangkat latar masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sedangkan kepada Maxwell Lane kita patut berterima kasih karena terjemahannya yang gigih atas tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Para penerjemah di atas bekerja semata-mata berdasarkan kecintaan terhadap sastra Indonesia. Mereka bekerja sendiri-sendiri dan mencari sumber-sumber pendanaan dan penerbitan sendiri-sendiri juga. Di Indonesia, hingga saat ini tidak ada lembaga khusus (yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia) yang memfasilitasi para penerjemah asing untuk sementara waktu tinggal di Indonesia dan bekerja menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.

Sungguh ironis, kesadaran untuk membawa sastra Indonesia ke dunia (yang lebih luas) justru datangnya dari para penerjemah asing yang mencintai kesusastraan Indonesia itu, dan bukan berasal dari kebijakan Pemerintah Indonesia sendiri. Sudah saatnya kini Pemerintah Indonesia secara fundamental, sistematis, dan visioner memikirkan untuk mendirikan lembaga khusus yang memfasilitasi penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam berbagai bahasa asing, katakanlah semacam Pusat Penerjemahan Sastra Indonesia. Untuk masalah ini, sekurang-kurangnya kita dapat belajar dari dua lembaga penerjemahan di Korea dan Hongaria, yaitu Korean Literature Translation Institute (KLTI) dan Magyar Forditohaz.

PUSAT PENERJEMAHAN

KLTI didirikan pada Maret 2001 dengan dukungan pendanaan sepenuhnya dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea. Tujuan utama pendirian KLTI adalah untuk mempromosikan dan menyebarkan karya-karya sastra Korea ke seluruh dunia. KLTI mendesain program-program strategis yang dapat membantu menumbuhkan apresiasi masyarakat dunia terhadap kesusastraan Korea yang pada gilirannya dapat menjembatani pemahaman kultural negara-negara lain atas kebudayaan Korea dan sebaliknya. KLTI juga menjalankan program-program teknis yang dapat memudahkan para pembaca non-Korea dengan cepat mengakses karya-karya sastra Korea melalui karya-karya terjemahan. Oleh sebab itu, sejak didirikan, KLTI mendukung kerja penerjemahan dan penerbitan karya sastra Korea ke dalam sebanyak-banyaknya bahasa asing.

Dalam bahasa Indonesia sejauh ini telah terbit dua buku karya sastra Korea yang merupakan buah dari program KLTI, yaitu kumpulan cerita pendek Laut dan Kupu- kupu hasil terjemahan Koh Young Hun dan Tommy Christomy; dan kumpulan sajak Puisi buat Rakyat Indonesia hasil terjemahan Chung Young-Rim. Prof Koh dan Prof Chun adalah guru besar dan peneliti sastra Indonesia di Hankuk University, Seoul. Sementara itu, Tommy Christomy adalah pengajar di Universitas Indonesia yang juga pernah lima tahun mengajar di Hankuk University.

Dalam sebuah perbincangan terpisah dengan saya tiga tahun lalu, baik Prof Koh maupun Prof Chun berharap bahwa akan ada suatu masa ketika karya-karya sastra Korea dapat secara intensif diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan luas dibaca masyarakat Indonesia. Ini memang seiring sejalan dengan moto KLTI, “bringing literature to the world”. Sejak KLTI didirikan hingga saat ini telah ratusan karya sastra Korea diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Sementara itu, sejak dibuka pada Januari 1998, Magyar Forditohaz (Hungarian Translators House) telah menjadi tuan rumah bagi banyak peneliti, sastrawan, dan penerjemah dari berbagai negara yang datang untuk melakukan kerja penelitian maupun kerja penerjemahan atas karya sastra Hongaria. Di samping itu, Magyar Forditohaz juga memberikan dukungan sama kuatnya untuk kerja penelitian dan penerjemahan di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Magyar Forditohaz berada di kota kecil yang merupakan salah satu tujuan wisata utama di Hongaria, yaitu di Balatonfüred. Kota yang tenang ini terletak 125 kilometer dari Budapest dan sepelemparan batu jaraknya dari tepi danau terbesar di Eropa, Balaton. Pada mulanya, Magyar Forditohaz merupakan vila yang dibangun di abad ke- 19, sebagai penghormatan atas pengarang Gabor Liptak. Di Magyar Forditohaz terdapat lebih kurang 3.000 buku referensi berbagai bahasa dan perlengkapan kerja yang lebih dari memadai bagi para peneliti, sastrawan, maupun penerjemah yang tinggal dan bekerja (untuk paling lama dua bulan) di tempat itu.

Berbeda dengan KLTI yang mendasarkan seluruh sumber pendanaannya dari Pemerintah Korea, Magyar Forditohaz selain mendapat dukungan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Hongaria juga memperoleh dukungan dari banyak lembaga swasta dan perorangan. Karena peran Magyar Forditohaz inilah sepuluh tahun terakhir karya-karya sastra Hongaria telah mulai luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sudah harus mulai memikirkan secara strategis untuk membawa kesusastraan Indonesia ke dunia (yang lebih luas). Perlu segera dipikirkan berdirinya Pusat Penerjemahan Sastra Indonesia, atau apa pun namanya, yang memfasilitasi para peneliti, sastrawan, dan penerjemah dari berbagai negara (dan dari dalam negeri sendiri) untuk melakukan kerja penelitian dan kerja penerjemahan atas kesusastraan Indonesia. Kita dapat belajar banyak dari KLTI maupun Magyar Forditohaz.

Semakin banyak karya sastra Indonesia diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, karya sastra Indonesia akan semakin dikenal luas pula. Dan pada gilirannya, akan semakin jelas pula manifestasi identitas kebangsaan kita di tengah pergaulan peradaban dunia.


cecepsyamsulhari.jpg

Cecep Syamsul Hari has published creative works including short-stories, novel, and essays. He was a writer in residence in South Korea (2006), Malaysia (2007), Hungary (2009), and Australia (2009). His works was also published in several journals and anthologies such as: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006), PLAV Literary Magazine (Prague, Czech, 2009), Hadaa Sendoo’s World Poetry Almanac (Ulaanbaatar, Mongolia, 2007 and 2011 Edition). He has translated several books, and also founder and editor of Sastra Digital (Online Monthly Literary Magazine), editor-in-chief of Jurnal Sastra (The Indonesian Literary Quarterly). He was editor of Horison monthly literary magazine (2001-2014).

Eliza Handayani1 Comment